MATAHARI baru saja condong di ufuk timur. Kapal besar berlayar berjalan sesuai kehendak peta. Semua logistik dan surat perjalanan, termasuk dokumen resmi tentang muatan, telah dibawa ke atas kapal.
Perjalanan kapal seharusnya lancar tidak ada kendala, selain debutan ombak dan badai laut yang menjadi lawannya.
Namun, siapa sangka yang dihadapi lebih dari sekedar ombak laut. Kapal disergap oleh sekelompok perompak ketika melintas di perairan Somalia.
Semua barang yang ia bawa habis. Dijarah perompak, alias bajak laut.
Keberadaan bajak laut di Somalia, akibat dari lemahnya pengawasan pemerintah, ketidakstabilan politik, kurangnya layanan pendidikan dan kesehatan yang memaksa masyarakat untuk melakukan tindak kriminal.
Bajak laut di Somalia menjadi momok bagi dunia pelayaran internasional.
Bagi dunia pelayaran nasional, melintas di perairan Indonesia, seakan melintas di perairan Somalia. Selalu was-was.
Bedanya, jika kita melawan di Somalia, resikonya bisa mati di tempat. Tapi di Indonesia tidak. Kita seolah dibuat mati secara perlahan-lahan. Sungguh menyakitkan.
Indonesia yang merupakan negeri maritim, tak ada bajak laut layaknya Somalia. Ini karena ada abdi negara yang bertugas mengamankan kedaulatan NKRI. Mereka bersenjata dan berakal untuk mengamankan perairan Indonesia.
Kerjanya begitu nyata. Banyak kapal kapal penyelundup yang tertangkap di tengah laut. Dengan gagah berani, mereka mampu mendeteksi dan mengungkap kejahatan.
Sayangnya, di antara Abdi Negara itu, masih banyak oknum bekerja seperti sistem. Menghadang kapal berbendera Indonesia sendiri. Tujuannya jelas, tapi temuan pelanggarannya tak jelas. Ujungnya-ujungnya, pemilik kapal seolah wajib merugi.
Hari ini seorang kawan dari dunia pelayaran nasional mengadu, ada sebuah usaha yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia (Kemenko Marves) untuk membuat semacam SOP pemeriksaan kapal. Termasuk penahanan kapal niaga di laut teritori dan yurisdiksi Indonesia.
Kemenko Marves yang sejak awal dibentuk pada 2014 tidak mengerti permasalahan kapal niaga dan ekonomi maritim. Tentu, ini semakin menambah penderitaan kapal niaga dengan usulan-usulan yang kontradiktif.
Masih kata seorang kawan. Kemenko Marves juga sering mencampuri hal-hal teknis yang merupakan kewenangan atributif kementerian teknis yang dikoordinirnya. Contohnya, Kemenko Marves memahami kewenangan HUBLA, tetapi mencoba membuat sesuatu yang merupakan kewenangan HUBLA.
Beruntung, Hubla dan INSA masih tetap berpegang kepada prinsip dilaksanakannya kegiatan kapal niaga, dengan azas dan tujuan bernegara yang baik, demi kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Pada kesempatan sebelumnya, seorang kawan juga ada yang mengadu. Kapalnya ditangkap Bakamla di tengah laut, dengan dalih pelanggaran administratif. Tentu ini bertolak belakang dengan Syahbandar yang sudah mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar.
Pada kesempatan yang lain, seorang teman dari dunia pelayaran juga mengadu. Kapalnya ditangkap Polisi Airud. Lagi-lagi dengan dasar yang tak jelas.
Sejatinya apapun aturannya, kalau dikerjakan dengan baik, tentu hasilnya juga akan baik. Begitulah sebaliknya
Dari pernyataan di atas, menjadi sebuah pertanyaan. Mengapa Menko Marvel harus menangani yang harusnya dikerjakan oleh Hubla? Mengapa Bakamla harus berkerja mengulang yang sudah dikerjakan oleh Syahbandar? Kurang koordinasi kah? atau justru kebanyakan koordinasi. Membingungkan.
INSA juga bingung. INSA coba memaksakan diri untuk terus berkembang demi kebangkitan perekonomian nasional. Tapi kapalnya dihadang.
Seolah ada pembajak di tengah laut yang membuat huru-hara, dan kemudian hura-hura.
Adanya oknum Abdi Negara yang menjadi bajak laut di Indonesia, penyebabnya hampir sama dengan keberadaan perompak di Somalia. Akibat dari lemahnya pengawasan pemerintah dan ketidakstabilan politik.
Sungguh disayangkan ketika kapal niaga berbendera Indonesia harus dihadang dan ditahan di negeri sendiri.
Hal pertama yang akan terjadi adalah mandeknya logistik nasional. Kemudian disusul pelarangan investasi kapal oleh perbankan karena terlalu tinggi resikonya. Dan yang terakhir adalah bencana nasional jika semua kapal niaga berhenti operasi.
Dapat diyakini, seribu persen pemerintah pasti sadar betul akan hal itu.
Tetapi jika dibiarkan, menandakan ada indikasi kesengajaan mematikan pelayaran dalam negeri.
Jika tidak dilawan aturan ini, habislah kedaulatan maritim Indonesia. Dan tentunya, "Selamat Tinggal Indoensia Emas 2045"
*Penulis adalah Penasehat DPP Indonesian National Shipowners' Association (INSA)
© Copyright 2024, All Rights Reserved