BERBICARA sejarah perjuangan pemuda, tidak akan lepas dari peranan mahasiswa sebagai motor penggerak kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarahnya, perjuangan Indonesia telah melewati fase perjuangan yang cukup panjang hingga lahir para cendekiawan muda.
Pada zaman pemerintahan Jepang, kondisi pendidikan dan interaksi politik jauh lebih represif jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda.
Hal tersebut ditandai adanya larangan terhadap segala bentuk kegiatan politik bahkan melakukan pembubaran terhadap beberapa organisasi mahasiswa dan pelajar.
Kondisi yang sangat memprihatikan tersebut, tidak menjadikan semangat para mahasiswa redup dan padam. Mereka cukup pintar dan mandiri dengan memanfaatkan lingkungan pergaulan keseharian seperti asrama sebagai tempat untuk berkumpul, berdiskusi dan bertukar pikiran guna menyusun langkah-langkah pergerakan.
Asrama yang terkenal dalam sejarah, yang memiliki peranan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh nasional adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Di asrama inilah yang nantinya akan melahirkan tokoh-tokoh yang menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan.
Estapet perjuangan pemuda dan mahasiswa ini tidak henti-hentinya terputuskan dari upaya-upaya perubahan bahkan paska kemerdekaan Indonesia.
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), kala itu dikenal sebagai salah satu organisasi pergerakan kaum intelektual yang tidak pernah henti memberikan kontribusi untuk menjaga keutuhan NKRI dan menyelamatkan generasi muda dari ketertinggalan.
GMNI atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia lahir pada tanggal 23 Maret 1954 atas peleburan (fusi) dari tiga organisasi besar kemahasiswaan di Indonesia yang memiliki kesamaan azas, yakni Marhaenisme sebagai azas yang dilahirkan oleh Bung Karno di era tahun 1920-an dan untuk pertama kalinya istilah ini digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, 'Indonesia Menggugat'.
Bertepatan dengan momentum Dies Natalis GMNI yang ke-65 tepatnya pada hari ini tanggal 23 Maret 2019, saya sangat prihatin melihat kondisi generasi intelektual baik di kalangan pelajar maupun mahasiswa saat ini terutama ditinjau dari budaya literasi, dan diskusi yang mulai surut dan terkikis oleh arus globalisasi yang semakin tak terbendung lagi.
Tantangan yang cukup serius di masa ini adalah persoalan game yang hampir merubah psikologi serta culture kaum intelektual baik kalangan mahasiswa maupun para pelajar. Genjotan game di kalangan pelajar dan mahasiswa lebih dahsyat ketimbang genjotan mereka dalam literasi apalagi diskusi.
Bayangkan saja, riset dari Central Connecticut State University pada bulan Maret 2016, dari 61 negara, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-60 atau di bawah Thailand terkait minat baca.
Sedangkan perbandingan data dari UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya berkisar 0,001%. Artinya dari 1000 orang, hanya satu orang diantaranya rajin membaca. Tentu ini sangat memprihatikan.
Dalam artikel yang ditulis oleh Edo S. Jaya, data terbaru, pada 2017, menurut lembaga riset pemasaran asal Amsterdam, Newzoo, di Indonesia ada 43,7 juta gamer (56% di antaranya laki-laki). Ini bukan angka yang kecil, angka ini merupakan angka yang besar dari deretan jumlah pemain game di Asia Tenggara.
Persoalan dari game ini, adalah dampak negatif yang bisa timbul dari para gamer secara tidak sadar. Tidak tanggung-tangugung ancaman kematian pun nyaris terjadi akibat bermain game yang tidak terkontrol. Seperti kasus yang pernah terjadi di Amerika Serikat, ayah tiga anak berusia 35 tahun tewas setelah main game 22 jam non-stop. Pria 20 tahun di Republik Rakyat Cina tewas setelah main game 'King of Glory' sembilan jam setiap hari selama lima bulan. Bahkan sempat beredar kabar, kasus penembakan umat muslim di Selandia Baru dilatar belakangi oleh obsesi yang berlebihan dari permainan game.
Melihat buruknya dampak dari bermain game yang berlebihan, pada tanggal 18 Juni 2018, WHO menerbitkan dokumen ICD-11, yang merupakan revisi dari ICD-10 terbitan pada 1990 yang memuat didalamnya bahwa kecanduan game merupakan salah satu dari gangguan mental.
Dokumen terbitan WHO ini digunakan oleh para tenaga kesehatan untuk mengkategorisasi berbagai penyakit dan kondisi kesehatan, mulai dari melahirkan seorang bayi (JB20 Single spontaneous delivery), sakit flu (1E32 Influenza, virus not identified), hingga kecanduan game online (6C51 Gaming disorder).
Edo menuturkan bahwa menurut ICD-11, kecanduan game merupakan pola perilaku bermain game baik online maupun offline, game digital maupun video game, dengan beberapa pertanda berikut:
1. Tidak dapat mengendalikan keinginan bermain game.
2. Lebih memprioritaskan bermain game dibandingkan minat terhadap kegiatan lainnya.
3. Seseorang terus bermain game meski ada konsekuensi negatif yang jelas terlihat.
Menurut Edo, seseorang bisa didiagnosis kecanduan game oleh psikolog atau psikiater bila ia memiliki pola bermain game yang cukup parah hingga berdampak buruk terhadap dirinya pribadi, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan, dan hal-hal penting lainnya.
Psikolog atau psikiater biasanya baru dapat memberikan diagnosis setelah pola kecanduan game seseorang berlangsung selama setidaknya 12 bulan, walau syarat waktu ini bisa dipersingkat bila dampak buruk bermain game ke kehidupannya sehari-hari sangat terlihat nyata.
Ditinjau dari populasi generasi muda Indonesia yang kurang lebih mencapai angka 76.363.477 jiwa atau 36,75 % dari totalitas penduduk Indonesia, sangat disayangkan jika jumlah ini sebagiannya dihuni oleh generasi muda baik dari kalangan mahasiswa maupun pelajar yang didalamnya terindikasi gangguan mental akibat kecanduan game.
Satu hal yang saya khawatirkan sebagai dampak buruk bermain game yang berlebihan yaitu jiwa kritis mahasiswa dan pelajar berubah menjadi apatis terhadap situasi dan kondisi negara yang menjadi beban dan tanggung jawabnya dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam momentum hari lahir GMNI yang ke-65 ini, saya mengajak kepada generasi millenial terutama kaum mahasiswa dan pelajar sebagai kader intelektual agar kembali pada budaya dan tradisi yang dapat mendidik menjadi orang yang berguna demi kemajuan bangsa Indonesia.
Sejatinya teknologi digital hadir di abad ke-21 ini merupakan fasilitas untuk lebih memudahkan kita bisa menjelajahi dunia informasi, menggali pengetahuan, dan membangun ekonomi global untuk lebih ke depannya kita membawa harum Indonesia di kancah internasional.
Dengan ini, saya ucapkan selamat Dies Natalis GMNI yang ke-65 khususnya kepada Dr. Ahmad Basarah selaku Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI, kepada Dr. Abdy Yuhana selaku Ketua Persatuan Alumni GMNI provinsi Jawa Barat dan Bung Dedi Hasan Bahtiar selaku Ketua Persatuan Alumni GMNI Kabupaten Garut, juga kepada Bung Roybaytullah Kusuma Jaya selaku Ketua Umum DPP GMNI dan kepada segenap jajaran kepengurusan GMNI di tingkat provinsi, kabupaten dan kota, umumnya kepada keluarga besar alumni dan kader aktif GMNI di seluruh Indonesia.
Panjang umur perjuangan. Merdeka!
GMNI jaya. Marhaen menang.
Oleh Raden Irfan NP
Aktivis GMNI Kabupaten Garut
© Copyright 2024, All Rights Reserved