SUATU hari kepala desa menemukan sebuah pohon mangga yang terletak di antara pekarangan rumah A dan B, dan mulai bertanya siapakah pemilik dari pohon tersebut.
Penghuni rumah A menjawab kalau pohon mangga itu milik mereka. Mendengar itu penghuni rumah B protes, ‘Sejak dulu kami selalu merawat dan menjaga pohon mangga ini agar tetap subur dan berbuah. Penghuni rumah B selalu membuang sampah di pohon ini, jelas sekali mereka bukan pemiliknya!”
Di masa lalu, perdebatan seperti ini sering terjadi di Indonesia. Sebuah pohon yang tumbuh subur di pekarangan kosong yang tidak diketahui siapa pemiliknya, menjadi sumber perdebatan tentang siapakah yang pantas memiliki pohon tersebut. Solusi termudah dari masalah ini adalah mengatakan bahwa pohon tersebut adalah milik umum, milik bersama, sehingga semua orang memiliki hak atas buah yang tumbuh di pohon itu.
Tapi apakah adil jika pohon itu benar-benar milik seseorang, yang telah menjaga dan merawat pohon itu dengan segenap hati?
Hal ini mungkin dirasakan oleh Korea Selatan saat Jepang mengklaim pulau Dokdo adalah milik Jepang. Pulau kecil yang di dalam atlas disebut sebagai ‘Karang Liancourt’ ini sejak lama diperebutkan oleh kedua macan Asia tersebut.
Pulau Dokdo
Nama yang mungkin asing di telinga orang-orang Indonesia. Tapi pulau ini layak disebut sebagai identitas Korea Selatan sama halnya seperti kimchi, BTS atau pun permainan ‘Mugunghwa flower has bloomed’ di serial Squid Games.
Meskipun tidak sepopular Pulau Jeju yang sering menjadi tujuan wisata warga di dunia, pulau kecil ini sama berharganya dan dapat disebut sebagai pride negara Korea Selatan. Terletak 215 km dari daratan Korea dan 250 km dari daratan Jepang, pulau ini merupakan sumber sengketa kedua negara karena sama-sama mengklaim pulau tersebut adalah milik mereka.
Dasar dari klaim Jepang atas Dokdo bermula dari Pasal 2 Perjanjian San Fransisco 1951 yang berisi tentang pengakuan Jepang atas kemerdekaan Korea. Jepang berpendapat bahwa mereka hanya mengakui kemerdekaan Korea, dan tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan Pulau Dokdo kepada Korea Selatan. Hal itulah yang membuat Jepang mulai mengakui bahwa Dokdo adalah milik mereka dan menyebut pulau tersebut Pulau Takeshima, bahkan setiap tanggal 22 Februari diperingati sebagai Hari Takeshima.
Melihat klaim tersebut Korea Selatan tentu saja tidak diam. Korea membawa bukti sejarah bahwa Dokdo adalah milik mereka. Dulunya Dokdo merupakan wilayah tanpa pemilik yang dinamakan Usanguk, yang telah bersatu dengan Korea Selatan sejak Dinasti Shilla tahun 512 SM. Lalu pada tahun 1954, Korea Selatan memperkuat kepemilikan mereka terhadap Dokdo dengan membangun mercusuar yang saat ini selalu ditempati oleh petugas patrol untuk menjaga pulau tersebut. Letak pulau Dokdo yang secara geografis lebih dekat dengan mereka juga menjadi bukti penting lainnya yang menunjukkan bahwa tanah tersebut adalah memang milik mereka.
Ada hal lain yang juga dapat menjadi bukti bahwa tanah ini adalah milik Korea Selatan. Perpaduan warna putih, merah, biru dan hitam, warna-warna dari bendera Korea yang dibawa oleh warga Korea berkibar di mana-mana saat menginjakkan kaki mereka di pulau ini. Masker pun tidak bisa menutupi ekspresi gembira mereka saat berada di tempat kebanggaan milik mereka ini. Suara deru ombak menabrak karang terdengar jelas membuat pandangan mata sejenak mengarah ke keindahan laut di sekitar Pulau Dokdo.
Pulau indah ini pernah menjadi rumah bagi hewan singa laut. Sayangnya Jepang melakukan pemburuan terhadap hewan menggemaskan itu sehingga tak seekor pun lagi dapat dilihat di Dokdo. Seorang pemilik tanah tidak akan menghancurkan ekosistem alam di tanah mereka sendiri. Seorang pemilik, tidak hanya meng-klaim sebuah hak, tetapi juga menyadari tanggung jawab untuk merawat dan menjaga benda berharga mereka. Itulah perjuangan yang dilakukan Korea Selatan. Korea Selatan tidak hanya meng-klaim secara perkataan ataupun tulisan, bahwa Dokdo adalah milik mereka, tetapi mereka menunjukkannya lewat usaha yang mereka lakukan untuk menjaga Pulau Dokdo sampai saat ini.
Dokdo adalah salah satu bukti dari sekian masalah Internasional yang masih terjadi saat ini di berbagai belahan dunia mana pun. Masih banyak negara yang hanya mementingkan keuntungan pribadi, menganggap tanah dan budaya negara lain milik mereka, tanpa memiliki kesadaran untuk menghargai nilai dari sejarah yang terkandung. Dokdo tidak hanya mengingatkan masyarakat dunia tentang tugas perdamaian yang masih harus diselesaikan, tetapi juga dapat menjadi garis awal dari perdamaian itu sendiri.
*Penulis adalah mahasiswa S2 yang studi di Korea Selatan
© Copyright 2024, All Rights Reserved