Tudingan terhadap kebijakan relaksasi impor sebagai biang keladi satu-satunya penyebab kontraksi Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia dianggap tidak bijak. Walau tak dipungkiri kebijakan itu membuat pelaku industri dalam negeri kalang kabut.
Menurut ekonom senior, Dradjad Wibowo, menyalahkan relaksasi impor bisa dikatakan sebagai bentuk ketidakharmonisan kerja antar kementerian/lembaga.
Dradjad menyarankan, apa yang seharusnya dilakukan yaitu secara bersama-sama mendesain kebijakan sinkron dan optimal antara pengembangan industri dalam negeri, perdagangan luar negeri serta kepabeanan dan cukai.
Contohnya, regulasi impor apa dan sebesar apa yang optimal bagi konsumen dan produsen domestik sekaligus.
“Apakah bea masuk anti dumping bisa dilakukan untuk komoditi dengan kode HS tertentu. Apakah ada solusi teknis terhadap backlog di pelabuhan. Apakah solusi agar industri domestik lebih bersaing dan tidak hanya mengharapkan proteksi berlebihan,” kata Dradjad seperti dikutip pada Minggu (4/8).
Selain itu, lanjut Dradjad, yang patut ditelisik yaitu faktor biaya produksi yang di luar kewajaran, atau yang diakibatkan oleh kebijakan negara atau ulah oknum.
“Membongkar ekonomi biaya tinggi dalam proses industri itu akan lebih besar manfaatnya dalam jangka menengah dan panjang dari pada buka tutup relaksasi dan restriksi impor,” paparnya.
Meski begitu, ia pun tak menampik bila relaksasi impor membuat sebagian pelaku industri di dalam negeri kesulitan untuk bersaing. Industri dalam negeri terpukul hingga PMI Manufaktur RI masuk zona kontraksi.
“Memang hal tersebut masalah yg dilematis. Tanpa relaksasi impor, kontainer akan menumpuk di gudang pelabuhan. Lalu lintas barang tersendat, inflasi naik. Rakyat sebagai konsumen dirugikan,” tandasnya.
Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut kontraksi PMI Manufaktur RI pertama kalinya sejak Agustus 2021 atau setelah 34 bulan berturut-turut terus ekspansi dipengaruhi oleh penurunan bersamaan pada output dan pesanan baru.
Agus mengatakan permintaan pasar yang menurun merupakan faktor utama penyebab penjualan turun.
S&P Global diketahui data Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia Juli 2024 yang turun ke level 49,3 atau terkontraksi.
Pada Juni 2024, PMI Manufaktur Indonesia masih ekspansif di level 50,7.
Agus menyatakan tidak kaget dengan turunnya PMI manufaktur Indonesia sejak kebijakan relaksasi impor diberlakukan.
"Kami tidak kaget dan logis saja melihat hasil survei ini, karena ini semua sudah terprediksi ketika kebijakan relaksasi impor dikeluarkan," ujar Agus dalam rilis resmi, Kamis (1/8).
© Copyright 2024, All Rights Reserved