Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang tambahan atau fee, hadiah uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta, Hadi Saeful Rizal mengatakan, meski hingga kini masih belum ditetapkan batas minimum untuk gratifikasi. Pemerintah melalui Menkominfo di tahun 2015 pernah mengusulkan agar pemberian dibawah Rp 250 ribu tidak dimasukkan dalam kategori gratifikasi.
"Namun hal ini belum diputuskan dan masih sebatas wacana. Dilain pihak, masyarakat yang melaporkan gratifikasi diatas Rp 250 ribu, wajib diberikan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah nomor 71 tahun 2000," kata Hadi kepada Kantor Berita RMOLJabar, Sabtu (25/1).
Menurutnya, gratifikasi termasuk tindak pidana. Landasan hukumnya adalah UU 31/1999 dan UU 20/2001 Pasal 12. Penerima gratifikasi diancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
"Ketentuan UU No 20/2001 menyebutkan bahwa setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, tetapi ketentuan ini tidak berlaku apabila penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima," tuturnya.
Kejar Target Dengan Cara Menyimpang
Pada prakteknya, lanjut Kang Hadi, berbagai benda dan hal lainnya bisa dijadikan alat gratifikasi untuk memuluskan niat seseorang, atau pihak ketiga yang berkepentingan dengan pemangku kebijakan demi meraih suatu maksud dengan cara yang menyimpang.
Tak hanya uang, benda berharga, bahkan gratifikasi seks juga tak luput dijadikan alat ucapan terimakasih yang efektif. Kini, alat gratifikasi bukan hanya bernuansa rupiah, barang mewah atau bahkan soal selangkangan semata.
"Iming-iming paket ibadah ke tanah suci seperti umroh juga tak luput dari otak para pelaku penyuapan untuk menggoda pihak yang mereka berikan gratifikasi, asal apa yang diputuskan para pengambil kebijakan disuatu daerah sejalan dengan kepentingan mereka," ujarnya.
Di sisi lain, menyusul keberangkatan umroh belasan anggota DPRD Kabupaten Purwakarta, pada 25 Januari 2020 yang diklaim dengan biaya sendiri, merebak isu jika keberangkatan mereka diduga didanai anggaran semacam gratifikasi dari pihak tertentu.
Isu tersebut muncul dikarenakan tidak adanya keterbukaan, sehingga menimbulkan miskomunikasi. Bahkan isu pun merambah ke ranah media sosial, hingga mengundang berbagai komentar yang bermunculan dari sejumlah netizen.
Apalagi, keberangkatan umroh para wakil rakyat tersebut dilakukan ditengah pembahasan dan penuntasan sejumlah Raperda di DPRD, diantaranya Rapeda Desa yang sudah ditunggu masyarakat Purwakarta.
Sebuah akun medsos dengan nama Bagas Pujo Dewandi menulis; Di Purwakarta tidak ada wakil rakyat, mereka berkontestasi hanya untuk mendapatkan kepercayaan dengan cara menipu masyarakat.
"Buktinya, ketika penuntasan raperda harus disegerakan karena mengingat ada sejumlah pembahasan raperda tentang agenda rakyat yang harus diselesaikan, mereka malah asik jalan-jalan," tulis Bagas Pujo Dewandi, Sabtu (25/1). Statusnya itu disertai foto belasan anggota DPRD Purwakarta yang tengah siap-siap berangkat umroh.
Hingga naskah ini ditulis, Kantor Berita RMOLJabar belum mendapatkan konfirmasi dari anggota maupun pimpinan di DPRD Purwakarta.
© Copyright 2024, All Rights Reserved