Politik identitas dan perilaku intoleransi menjadi permasalahan pendalaman demokrasi (deepening democracy) di Indonesia sejak 5 tahun terakhir. Indonesian Politics Research and Consulting (IPRC) pun melakukan survei kepada warga Kota Bandung sejak November lalu untuk mengetahui dinamika keduanya.
Hasilnya, Warga Bandung dinilai memiliki sikap toleran terhadap perbedaan etnik maupun agama. Hubungan antar-etnik dan umat beragama pun dinilai sangat baik, serta aparat tegas atas pelanggaran bernuansa politik identitas maupun intoleransi.
Direktur Program IPRC Iman Soleh mengatakan, politik identitas lahir karena adanya ketidakpuasan dalam menghadapi masalah sosial, baik itu dari perspektif ekonomi, hubungan sosial, serta kekuasaan.
Sebagai contoh, dinamika Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019 memunculkan politik identitas yang terbagi dalam dua kubu, yakni cebong dan kampret. Persoalan tersebut menjadi realitas jika politik membawa dampak luar biasa.
Selain itu, Iman menilai negara hingga saat ini tidak berperan aktif menyikapi permasalahan toleran dan intoleransi. Masyarakat pun seolah disibukan dengan berbagai persoalan intoleransi yang berkembang.
"Mulai permasalahan toko kue tentang hiasan Natal, atribut Natal, dan pemutaran lagu Natal di mall. Bahkan sampai tindakan tidak boleh merayakan Natal di Sumatera Barat. Ini menunjukan frekuensi intoleran semakin naik dan negara membiarkan ini, sehingga minoritas selalu terkorbankan," ungkap Iman, Selasa (24/12).
Iman menyatakan, negara seharusnya hadir sebagai sebuah lembaga netral. Dirinya menyebut Negara tidak boleh berpihak kepada kelompok mayoritas dengan memunculkan kebijakan yang seoalah netral, tetapi mengorbankan kelompok minoritas.
"Kuncinya, bagaimana komunikasi/negosiasi, sehingga konflik yang bernuansa negatif bisa direduksi menjadi sebuah konflik yang bernuansa positif, sehingga kehadiran negara terasa," tandasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved