KONDISI bangsa Indonesia semakin hari semakin tak ada yang memikirkan. Dalam situasi bangsa Indonesia saat ini dimana sulit sekali mendapatkan kesejahteraan hidup dengan berbagai kebutuhan hidup yang mahal, bukankah lebih baik mencari uang dengan cara mudah? prostitusi online misalnya, 80jt satu malam seperti yang gempar diberitakan belakangan ini.
Namun prinsip bodoh seperti itu nampaknya tidak berlaku untuk bapak sopir angkot yang aku temui. Saban hari di teriknya kota Bandung, setelah sangat lama aku tidak menaiki angkutan kota (angkot), ku putuskan untuk menaikinya dan kutemui pak sopir tua dengan riut keriput menghiasi wajah dan tangannya. Dia mencari pundi-pundi rupiah untuk anak isterinya dengan mengedepankan prinsip "rezeki halal akan membawa berkah". Dengan berusaha tegar dan tabah karena pendapatanya yang tidak seberapa, dia mengepal stir mobil angkot yang ia kendarai untuk memastikan aku sebagai penumpang selamat sampai tujuan. Dia terus menginjak gas mobilnya, melihat ke arah kiri dari gang berharap ada penumpang naik angkotnya untuk menambah pemasukannya hari ini, di raut wajahnya seakan tersirat keinginan untuk hidup sejahtera layaknya seorang pria tua yang seharusnya duduk dan tertawa bersama anak cucunya di rumah.
Dijalanan kota Bandung, masih bersama pa sopir kulalui jalan yang dipenuhi gambar Politikus dan pejabat negara yang sibuk memasang wajah senyum mereka di banner-banner besar seraya 'berjanji' jika terpilih kelak dia akan mensejahterakan rakyat. Aku lantas berpikir dengan kondisi otak ku yang sudah terkilir, menurutku sudah menjadi kewajiban seorang pejabat publik mensejahterakan rakyatnya! Undang-Undang Dasar 1945 memberikan amanat untuk siapa saja yang duduk di kursi pemerintahan agar mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Bagi para pejabat yang terhormat jika tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan berbagai alasan, maka sudah selayaknya anda semua lepaskan atribut pejabat anda yang didapat dari menipu rakyat dengan modal beberapa puluh juta itu. Di tahun politik ini, kita sudah mengetahui berapa dana kampanye yang dikeluarkan para elit politik sesuai dengan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) yang disampaikan ketua KPU beberapa waktu lalu yang totalnya hampir triliunan rupiah. Belum lagi pengadaan kertas pemilihan, kotak suara , dan bilik suara seluruh Indonesia. Berapa ratus triliun anggaran yang di hamburkan untuk sekedar memilih Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi?
Miris, di dalam istana terdapat para elit politik yang sedang sibuk menyusun strategi kemenangan, agar dana triliunan rupiah yang mereka keluarkan tidak sia-sia jika mereka menang, toh saat memimpin dana itu akan kembali ke kantong mereka. Politik seperti ini oleh Peter Merkl dikatakan sebagai, "Politics at its worst selfish grab for power, glory, and riches" (dalam Budiardjo, 2008, hlm. 16) atau politik menjadi buruk atau berdampak buruk ketika mementingkan peraihan kekuasaan, kejayaan, dan kekayaan saja. Padahal tujuan berpolitik awalnya adalah hidup yang baik/ mulia seperti yang diutarakan Aristoteles en dam onia, bahwa politik bertujuan hidup yang baik atau for good life. Sementara yang kita lihat beberapa ratus meter dari istana negara terdapat tukang gorengan, sopir angkot, sopir ojeg online, warung kecil, buruh, karyawan bank, guru honorer yang mengetahui hal tersebut hanya mampu meratapi dan menangisi peristiwa tersebut, seakan jerit mereka tidak sampai ke dalam istana dan tentu ini sangat menyakiti hati rakyat kecil.
Siapa yang akan menyampaikan jerit sopir tua angkot yang ku temui serta rakyat kecil lainnya? Mahasiswa? Jika boleh ku ceritakan sebenarnya kutemui juga Mahasiswa di berbagai kampus sepanjang jalan yang aku lalui, dan ku lihat Mahasiswa saat ini sedang sibuk dalam hingar bingar kemajuan teknologi (medsos) yang bukan ciptaanya, dan terpecah menjadi kelompok 'pintar', kelompok 'hedonis', dan kelompok aktivis yang juga ternyata terbagi menjadi beberapa golongan. Lantas jika Mahasiswanya saja sudah seperti ini, siapa yang akan menyampaikan jerit sopir tua ini?
Melalui tulisan ini, saya ingin menyadarkan saya pribadi khususnya dan kawan-kawan sesama Mahasiswa, bahwa tidak bisa kita menapikan bahwa kesejahteraan rakyat lahir dari stabilitas suatu bangsa yang dilihat dari kemandirian ekonomi rakyatnya. Ayo sadar kawan-kawan, siapa lagi yang akan memikirkan bangsa ini, jika kita sebagai generasi penerus hanya memikirkan diri sendiri, suatu saat jika pun kita di amanahi duduk di kursi dewan maka tidak ada bedanya dengan pejabat saat ini yang memikirkan diri sendiri. Semoga kita selaku Mahasiswa tetap menjadi sandaran bagi rakyat Indonesia untuk memperjuangkan hak hidup sejahtera dimanapun kita dan sebagai apapun kita kelak.
Oleh: Robby Xandria Mustajab
Mahasiswa S1 Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia
© Copyright 2024, All Rights Reserved