HARI ini kita terjebak dalam satu model demokrasi prosedural yang problematik. Kita diajak untuk percaya bahwa demokrasi hanya soal memilih, dan dengan memilih seseorang, semua persoalan bangsa akan selesai. Namun, realitas menunjukkan bahwa politik kekuasaan pasca-reformasi justru mandek dalam menyelesaikan persoalan bangsa.
Sejak era reformasi, harapan besar tumbuh akan perbaikan dan penyelesaian masalah bangsa melalui mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada). Akan tetapi, apa yang terjadi adalah sebaliknya. Pilkada yang seharusnya menjadi jalan menuju demokrasi substantif, kini justru sering kali menjadi ajang perebutan kekuasaan semata, tanpa memberikan solusi nyata bagi kesejahteraan rakyat.
Proses demokrasi yang ada saat ini sering kali hanya menghasilkan pemimpin yang pandai dalam kampanye tetapi gagal dalam implementasi. Kita melihat bagaimana janji-janji manis saat kampanye sering kali tidak terealisasi setelah mereka terpilih. Banyak pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan daripada kepentingan rakyat yang sebenarnya.
Belum lagi jika kita melihat fakta bahwa hari ini dalam pilkada dinamika politik nasional ikut mempengaruhi politik di daerah. Partai-partai politik dipaksa tunduk pada kepentingan penguasa, di mana bahkan partai politik di daerah nyaris tidak memiliki ruang untuk menentukan siapa yang harus mereka calonkan.
Demikian problematiknya demokrasi prosedural padahal demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin lalu menyerahkan seluruh persoalan pada mereka. Tapi juga tentang partisipasi, keterlibatan masyarakat. Demokrasi sesungguhnya bukanlah hanya soal penguatan negara tetapi penguatan peran rakyat dalam kehidupan berbangsa.
Ketergantungan yang Berlebihan
Model negara kesejahteraan atau welfare state, yang mendasarkan kepercayaannya pada negara untuk mensejahterakan rakyat, seringkali menciptakan ketergantungan yang berlebihan. Dalam sistem ini, individu dan komunitas diharapkan menyerahkan hampir semua urusan kesejahteraan kepada negara. Ketergantungan semacam ini mengurangi inisiatif individu dan partisipasi masyarakat dalam mencari solusi. Akibatnya, masyarakat menjadi pasif dan kurang berdaya dalam menghadapi tantangan-tantangan yang muncul, memupuk sikap menunggu perubahan dari atas.
Padahal sistem kesejahteraan yang besar dan kompleks sering kali mengalami birokrasi yang rumit dan tidak efisien. Proses administratif yang panjang dan berbelit-belit menghambat distribusi bantuan dan layanan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Misalnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kita, 50-60% dari anggaran sebenarnya dihabiskan untuk membiayai birokrasi. Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terjebak dalam sistem yang tidak efektif, memperburuk ketidakadilan dan ketidaksetaraan.
Tanggung Jawab Individu dan Masyarakat
Model negara kesejahteraan sering kali mengaburkan tanggung jawab individu dan masyarakat. Ketika negara dianggap sebagai aktor utama dalam menyelesaikan semua masalah sosial, individu dan komunitas cenderung melepaskan tanggung jawab mereka. Padahal, partisipasi aktif dan tanggung jawab individu sangat penting dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan dan efektif. Mengandalkan negara sepenuhnya membuat masyarakat kurang terlibat dalam proses perubahan, padahal mereka adalah aktor kunci dalam keberhasilan pembangunan.
Masalah sosial dan ekonomi yang kompleks tidak dapat diselesaikan hanya dengan intervensi negara. Solusi yang efektif memerlukan pendekatan multidimensional yang melibatkan berbagai pihak, termasuk sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil. Model negara kesejahteraan sering kali gagal mengakomodasi kebutuhan kolaborasi ini, sehingga solusi yang dihasilkan tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Pendekatan bottom-up yang melibatkan masyarakat secara langsung sering kali lebih efektif dalam mengatasi masalah lokal dengan solusi yang relevan dan adaptif.
Mengarah ke Solusi Partisipatif
Untuk mengatasi keterbelengguan yang muncul dari model negara kesejahteraan, kita perlu mendorong pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif. Negara tetap memiliki peran penting, namun harus didukung dengan inisiatif dan partisipasi aktif dari masyarakat dan sektor swasta. Gotong-royong, sebagai nilai budaya yang sudah ada dalam masyarakat kita, perlu dihidupkan kembali sebagai prinsip dasar dalam mencari solusi bersama.
Pilkada dan proses demokrasi seharusnya tidak hanya menjadi ajang untuk memilih pemimpin, tetapi juga sebagai momentum bagi masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dan mengambil tanggung jawab dalam pembangunan.
Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat dapat merasakan manfaat dari demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kemerdekaan adalah ketika setiap warga negara dapat berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kemerdekaan adalah ketika kita berhasil keluar dari keterbelengguan model demokrasi prosedural yang hanya mementingkan aspek pemilihan, menuju demokrasi yang lebih substansial dan bermakna bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan memahami keterbelengguan yang terjadi dalam proses pilkada dan model negara kesejahteraan, kita bisa mulai membangun sistem yang lebih inklusif dan partisipatif. Sistem yang mampu memberdayakan masyarakat untuk berkontribusi secara aktif dalam pembangunan, dan tidak hanya mengandalkan negara sebagai satu-satunya solusi. Inilah saatnya untuk kembali menghidupkan nilai gotong-royong dan partisipasi aktif, demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
*Penulis adalah Koordinator Tim Kerja Bareng Purwakarta.
© Copyright 2024, All Rights Reserved