Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa menekankan perlunya perhatian lebih diberikan perusahaan media dan wartawan profesional kepada kerangka “Kerjasama Selatan-Selatan” dalam berbagai bidang untuk meningkatkan kapasitas dan kemandirian negara-negara berkembang.
Ia menjelaskan, istilah "Selatan" yang merujuk pada negara-negara dengan sejarah penindasan politik, sosial, dan ekonomi dari kekuatan kolonial di masa lalu, memiliki makna ideologis dalam mendorong kelahiran negara-negara baru pasca Perang Dunia Kedua umumnya di Asia dan Afrika.
Sedangkan “Kerjasama Selatan-Selatan” mengacu pada hubungan di antara sesama negara yang lahir dari rahim kolonialisme. Bila hubungan sebelumnya dengan kolonialisme menciptakan ketimpangan dan kemiskinan, maka diharapkan kerjasama di antara negara-negara yang senasib sepenanggungan di era kolonial menjadi jalan keluar signifikan untuk meningkatkan taraf hidup warga negara masing-masing.
"Pertukaran dan perdagangan sumber daya, teknologi, dan pengetahuan antara negara-negara Selatan merupakan alternatif dan bahkan antitesis dalam proses pembangunan," ujar Teguh saat berbicara dalam seminar “Tanggung Jawab Pers dalam Kerjasama Selatan-Selatan” pada Belt and Road Journalists Forum (BRJF) 2024 yang digelar di Chongqing, Republik Rakyat China (RRC), Jumat petang (30/8).
Teguh menekankan, Indonesia memainkan peranan tidak kecil dalam melahirkan konsep Kerjasama Selatan-Selatan. Keinginan melepaskan diri dari belenggu kolonialisme menjadi tema utama yang pernah diukir founding fathers negara-negara baru dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955.
Lebih lanjut Dosen jurusan hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut memaparkan, KAA melahirkan prinsip “peaceful coexistence” atau “hidup berdampingan secara damai” yang berarti keberadaan setiap negara diharapkan menjadi faktor pendukung negara lain, dan bukan sebaliknya, mengulang kisah kolonialisme.
Atas dasar itu, Teguh menegaskan, “Kerjasama Selatan-Selatan” memiliki sejumlah kaidah yang harus dihormati dan dijaga bersama, yaitu saling menghormati kedaulatan, membangun kemitraan setara, mencapai manfaat sama dan berkeadilan, serta tidak melakukan intervensi.
“Jadi, jika kita kembali pada topik tanggung jawab media dan pers dalam kerangka Kerjasama Selatan-Selatan menjadi jelas bahwa tugas kita adalah mendidik anggota organisasi kita, baik perusahaan media maupun jurnalis profesional, agar memiliki perspektif yang positif dan konstruktif terhadap isu besar ini,” ujar Teguh.
Insiatif dan Model China
Dalam kesempatan itu Teguh juga mengajak seluruh peserta BRJF 2024 berterima kasih pada All China Journalist Association (ACJA) yang beberapa tahun terakhir telah mengambil inisiatif menjadi platform bagi media dan wartawan dunia untuk berkumpul dan membahas praktik media dan pers terkait kerja sama antarnegara.
Selain itu, Teguh menambahkan, “keajaiban” pembangunan China dalam beberapa dekade terakhir telah menjadi inspirasi. China yang mengandalkan pembangunan berdasarkan karakter budayanya yang unik dapat menjadi model alternatif untuk mengejar ketertinggalan pembangunan.
“Kita perlu memanfaatkan platform dan jaringan ini semaksimal mungkin, sehingga pembangunan sejati benar-benar dapat terwujud di Global South,” demikian Teguh Santosa.
Kegiatan tahunan yang diselenggarakan All China Journalist Forum (ACJA) bekerjasama dengan berbagai partner lokal tersebut dihadiri tidak kurang dari 100 wartawan dari puluhan negara di dunia. BRJF pertama kali digelar pada 2017 bersamaan dengan pembentukan Belt and Road Journalist Network (BRJN) oleh 30 pemimpin organisasi wartawan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved