Koalisi partai politik (parpol) pada Pilkada 2024 diprediksi tidak akan sama persis seperti Pilpres lalu. Pasalnya, ada corak kontestasi yang cukup mencolok perbedaannya antara pilpres dan pilkada.
"Sehingga tidak mudah mematenkan koalisi pilpres dengan koalisi pilkada," ujar Direktur Eksekutif Sentral Politika, Subiran Paridamos alias Biran, dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (1/5).
Lulusan ilmu politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tersebut menerangkan, salah satu yang menjadi kendala tidak berlanjutnya koalisi pilpres bukan hanya soal corak kontestasi pemilihan umum yang berbeda.
"Tapi problem mendasarnya adalah jumlah perolehan kursi parlemen di pusat tidak sama dengan perolehan kursi di provinsi dan kabupaten/kota," kata Biran.
Sebagai contoh, perolehan kursi sejumlah parpol seperti PDIP dan Partai Gerindra yang paling banyak di tingkat nasional, belum tentu sama dengan perolehan kursi parlemen di daerah.
"Mungkin menjadi pemenang pemilu di pusat dengan jumlah perolehan kursi di Senayan paling banyak, tetapi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota bisa jadi yang paling kecil," kata Biran.
"Begitupula dengan partai lain misalnya Gerindra, di pusat hanya urutan ketiga perolehan kursi di Senayan, tetapi di provinsi bisa saja urutan pertama, atau malah paling kecil," sambungnya.
Oleh karena itu, Biran menegaskan syarat pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah komposisi jumlah kursi di DPRD Provinsi dan kabupaten/kota.
"Ini akan memengaruhi peta koalisi menuju Pilkada 2024, sebab syarat pengajuan calon Gubernur, Bupati atau Walikota minimal 20 persen dari jumlah kursi di masing-masing provinsi atau kabupaten/kota," kata Biran.
"Disinilah dilemanya, sehingga bisa saja partai koalisi pilpres tidak paralel dengan partai koalisi pilkada. Bahkan lebih ekstrem lagi koalisi Pilkada untuk Gubernur tidak sama dengan koalisi partai untuk Pilkada kab/kota," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved