Peristiwa hunian dalam gorong-gorong Jalan Djunjunan, Kota Bandung mengindikasikan persoalan kemiskinan di kota besar belum teratasi dengan maksimal. Meskipun, hal tersebut menjadi permasalahan klasik di kota-kota besar lainnya.
Pengamat Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad), Ari Ganjar Herdiansah mengungkapkan, peristiwa tersebut pada dasarnya bukan menjadi hal baru dan terjadi dari dahulu. Namun, karena viral dan banyak direspon masyarakat, akhirnya heboh.
Meski begitu, warga yang tinggal dalam gorong-gorong belum tentu warga asli Bandung. Kemungkinan warga pendatang dari luar Kota Bandung yang menjadi penghuni gorong-gorong di jalan tersebut.
"Itu sudah biasa sebetulnya. Selama wilayah di sekitar atau luar Bandung masih banyak yang miskin, maka akan selalu tertarik untuk datang ke Kota Bandung," ungkap Ari, Rabu (25/8).
Menurutnya, warga miskin yang tinggal dalam gorong-gorong seperti itu biasanya warga dengan pendapatan yang jauh dari standar umumnya. Ia menilai kejadian serupa akan tetap ada selagi persoalan kemiskinan belum terentaskan.
"Masalahnya, selama masih ada kemiskinan di Kota Bandung maupun daerah sekitar itu fenomena semacam itu pasti selalu ada. Jadi meskipun sudah ditangani, pembinaan, operasi yustisi, dan lainnya pasti akan ada lagi," tuturnya.
Ia menyarankan untuk meminimalisasi persoalan tersebut melalui beberapa pendekatan. Satu di antaranya melalui pendekatan makro pemerintah kota dengan menurunkan indeks kesenjangan sosial.
"Indeks kesenjangan itu faktor kontribusi yang paling besar sehingga muncul masalah-masalah yang semacam ini," ucapnya.
Kemudian, pemerintah kota juga harus melakukan penanganan terbatas, melalui pemeriksaan, dan pemantauan di sudut kota yang biasanya dijadikan tempat tinggal tuna wisma dan lainnya.
"Ini perlu dilihat dan dipantau bagaimana mereka tinggal, apakah hidupnya layak, apakah suka menimbulkan masalah. Di samping itu, kehadiran mereka itu diikuti oleh masalah-masalah sosial," lanjutnya.
Sementara itu, Pengamat Sosiologi Unpad lainnya, Budi Rajab menambahkan, warga yang tinggal di gorong-gorong merupakan warga miskin yang tidak memiliki rumah. Hal itu mengindikasikan Pemkot setempat belum maksimal menangani kemiskinan.
"Kemiskinan belum tertangani dengan maksimal oleh pemerintah. Walaupun kemiskinan di Indonesia masih banyak, meskipun di zaman Joko Widodo menurun tapi masih di ada perkotaan dan di pedesaan," tambah Budi.
Oleh sebab itu, dirinya menyarankan Pemkot Bandung serius mengatasi kemiskinan melalui bantuan tempat tinggal layak atau pemukiman untuk orang miskin. Sehingga, tidak terkesan membiarkan persoalan warga miskin.
"Mau melalui rusun atau apapun itu tapi yang penting ada tempat berteduh untuk mereka. Ada tempat mereka," ungkapnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, jumlah penduduk miskin di Kota Bandung pada Maret 2020 mencapai 100,02 ribu orang. Angka ini bertambah sebanyak 15,35 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2019 yang sebesar 84,67 ribu orang.
Garis Kemiskinan Kota Bandung pada Maret 2020 se-besar Rp500.452, per kapita per bulan, sedangkan pada Maret 2019 Rp474.448, Selama Periode Maret 2019 hingga Maret 2020 terjadi kenaikanan sebesar Rp26.004.
© Copyright 2024, All Rights Reserved