“PITUTUR Hoegeng Bertutur, wejangan spiritual ataupun pemikiran perkataan dan perbuatan Pak Hoegeng sampai saat ini masih bertutur, masih menjadi sumber inspirasi yang menjadi suatu kekuatan, bagaimana polisi ini melaksanakan pemolisiannya sesuai dengan keutamaannya, yaitu bagi kemanusiaan, keteraturan social, dan peradaban.”
Kutipan di atas adalah kalimat pembuka yang disampaikan oleh Kasespim Lemdiklat Polri, Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. dalam video berjudul “Pitutur Hoegeng Bertutur” yang saya terima melalui WhatsApp. Hoegeng, dalam narasi video tersebut digambarkan sebagai sosok jenderal polisi yang memiliki nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan kemanusiaan (humanis). Gambaran pada sosok yang memiliki nama lengkap Hoegeng Iman Santoso ini dapat kita lihat di mesin pencari Google. Narasi-narasi tentang Hoegeng yang jujur, berani, dan humanis yang selalu melekat dalam narasi-narasi yang beredar di Google seolah menjadi anomali, satir, sekaligus pengingat bagi anggota Polri. Lantas, sosok polisi seperti apa yang melekat dalam diri Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso hingga menjadi pitutur yang tidak lekang oleh waktu.
Polisi Sipil, Anomali Kebijakan
Salah satu catatan narasi video “Pitutur Hoegeng Bertutur” oleh Kasespim Lemdiklat Polri, Irjen Pol Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. menyebutkan istilah “Polisi Sipil” sebagai karakter yang melekat dalam diri Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso. Karakter polisi sipil ini menjadi gambaran ideal polisi yang diharapkan sebagai pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat.
Istilah Polisi Sipil atau Civilian Police adalah paradigma kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan berwatak sipil. Dalam konteks ini, polisi diharapkan menjalankan tugas dan fungsinya dengan cara yang menonjolkan aspek layanan, perlindungan, dan pengayoman kepada masyarakat, bukan dengan cara yang bersifat represif atau menggunakan kekuatan secara berlebihan.
Dalam konteks Jenderal Hoegeng, karakter polisi sipil pada masa hidup Jenderal Hoegeng adalah karakter polisi yang anomali. Pasalnya, periode Hoegeng sebagai Kapolri ketika diangkat pada 15 Mei 1968 menggantikan Jenderal Soetjipto adalah periode ketika Polri menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Status ini ditetapkan melalui TAP MPRS No. II tahun 1960 dan diperkuat pula melalui pemberlakuan Undang-undang Pokok Kepolisian No. 13 tahun 1961 yang kemudian menjadi pedoman tugas dan fungsi Polri. Dua peraturan perundang-undangan ini menjadikan institusi kepolisian menjadi ter-militer-kan sehingga karakter polisi sipil ibarat jauh panggang dari api alias tidak sesuai dengan maksudnya.
Di tengah karakter Polri yang ter-militer-kan itu, Jenderal Polisi Hoegeng melakukan reformasi struktural dalam institusi Polri yang kemudian melahirkan Keppres No.52 Tahun 1969. Dalam aturan tersebut, sebutan Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kepala Kepolisian RI (Kapolri) dan Markas Besar Angkatan Kepolisian menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabes Pol). Di samping itu, Jenderal Hoegeng juga mengubah penyebutan Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI (Kadapol) dan mengubah Seskoak menjadi Seskopol.
Reformasi struktural yang dilakukan Jenderal Hoegeng itu merupakan upaya untuk mewujudkan karakter polisi yang sipil. Hoegeng menyadari bahwa selama posisi polisi ditempatkan dalam struktur militer yang terjadi adalah militerisasi di tubuh kepolisian. Hal yang sama juga dinyatakan oleh David Wise dalam The American Police State: the Government Against the People (1988). David Wise mengkritik keras pendekatan kepolisian yang terlalu militeristik dan efeknya terhadap demokrasi serta kebebasan sipil. Argumentasi Wise menggarisbawahi bagaimana penempatan polisi dalam struktur yang mirip atau berorientasi militer dapat mengarah pada bias dalam tugas dan fungsi mereka, yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana mereka berinteraksi dengan masyarakat.
Reformasi struktural Polri yang dilakukan oleh Jenderal Hoegeng merupakan inovasi yang cukup berani. Padahal, kebijakan menjadi anomali bagi struktur kepolisian di masanya. Pasalnya, struktur dan kultur kepolisian pada masa itu masih mewarisi tradisi polisi kolonial meskipun sudah ada upaya-upaya untuk melakukan reformasi. Jenderal Hoegeng adalah salah satu tokoh reformis kepolisian yang berani mengambil kebijakan inovatif demi mewujudkan karakter polisi sipil. Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: dari Kepedulian dan Ketakutan, merangkum tiga masalah yang menjangkiti polisi: korup, sewenang-wenang, serta menjadi alat politik penguasa (2014). Dalam konteks ini, polisi kolonial digambarkan sebagai penjaga malam yang dipersenjatai sebagai watchdog residen maupun wedana yang tinggal di rumah besar.
Langkah Jenderal Hoegeng untuk melakukan reformasi struktural pada saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto adalah kebijakan yang cukup berani di tengah penggunaan instrumen militer sebagai kekuatan politik pemerintah Orde Baru. Oleh karena itu, perjalan karir Jenderal Hoegeng sebagai Kapolri cenderung tidak harmonis dengan Presiden Soeharto. Pasalnya, ada beberapa kasus yang ditangani Jenderal Hoegeng yang berbeda haluan dengan keinginan Presiden Soeharto, seperti kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan pengusaha Robby Tjahjadi hingga kasus pemerkosaan Sumaridjem di Yogyakarta yang dikenal dengan kasus Sum Kuning.
Wajah polisi sipil yang diharapkan oleh Jenderal Hoegeng memang menjadi anomali pada masanya karena pemerintah Orde Baru menggunakan militer sebagai alat politik dalam menjaga stabilitas kekuasaan dan pemerintahan. Puncaknya, anomaly kebijakan akibat langkah Jenderal Hoegeng yang cenderung berseberangan dengan Presiden Soeharto membuatnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Kapolri.
Polisi Humanis dan Sederhana
Selain polisi sipil, sosok Jenderal Hoegeng digambarkan sebagai polisi yang berwatak humanis. Hal ini tidak hanya tercermin dari perbuatan Jenderal Hoegeng, tetapi juga pada perkataan yang disampaikan oleh Jenderal Hoegeng. Salah satu pitutur Jenderal Hoegeng yang cukup dikenal sebagaimana disampaikan oleh Kasespim Lemdiklat Polri, Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si. adalah “Memang Baik Menjadi Orang Penting, tetapi Lebih Penting Menjadi Orang Baik.” Pesan ini mencerminkan filosofi kepemimpinan dan kehidupan yang beliau anut yang menekankan pentingnya nilai-nilai kebaikan, integritas, dan kejujuran di atas pencapaian status atau jabatan.
Dalam konteks kepemimpinan di kepolisian, pesan ini sangat relevan. Menjadi orang penting, seperti memegang jabatan tinggi dalam struktur organisasi, memang memberikan kekuasaan dan pengaruh. Namun demikian, Jenderal Hoegeng menekankan bahwa lebih penting lagi adalah menjadi orang baik, yaitu seseorang yang memegang teguh prinsip kebenaran, keadilan, dan selalu melayani masyarakat dengan hati yang tulus. Pitutur Jenderal Hoegeng ini sudah selayaknya menjadi dasar dalam menjalankan tugas, tidak hanya dalam kepolisian tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam konteks kepolisian tentu saja pitutur Jenderal Hoegeng tersebut menjadi sangat signifikan karena menegaskan kembali pentingnya integritas, profesionalisme, dan empati dalam menjalankan tugas. Kepolisian, sebagai institusi yang bertugas melindungi dan melayani masyarakat memerlukan individu-individu yang tidak hanya kompeten secara profesional, tetapi juga memiliki moral dan etika yang baik.
Kisah polisi humanis dalam diri Jenderal Hoegeng juga tercatat dalam cerita tentang kesederhanaan Jenderal Hoegeng selama berdinas di institusi kepolisian. Dikisahkan, Jenderal Hoegeng menolak sambutan berlebihan termasuk pemberian barang-barang mewah. Oleh karena itu, dituturkan saat akan memasuki rumah dinas sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal pada Kantor Polisi Sumut (sekarang Polda Sumut), dia menolak rumah dinasnya berisi perabotan barang-barang mewah yang diberikan para pengusaha dan para mafia di wilayah tugasnya. Alhasil, ketika para bawahan tidak ada berani yang mengeluarkan perabotan barang mewah dari rumahnya, Jenderal Hoegeng mengeluarkan sendiri semua perabot tersebut dan meletakkannya di pinggir jalan.
Tindakan Jenderal Hoegeng yang mengeluarkan sendiri perabotan mewah dari rumah dinasnya dan meletakkannya di pinggir jalan merupakan simbol penolakan terhadap korupsi dan penerimaan suap. Hal ini juga menunjukkan kepada para bawahan dan masyarakat luas tentang pentingnya hidup sederhana dan menjunjung tinggi etika serta integritas dalam pelayanan publik. Kisah tentang penolakannya terhadap pemberian barang-barang mewah dan sikapnya dalam menghadapi praktik korupsi menunjukkan komitmennya terhadap prinsip keadilan dan ketegasannya dalam menjalankan tugas.
Akhirnya, keberadaan Jenderal Hoegeng Imam Santoso dalam tubuh Polri adalah tokoh nyata alias bukan fiktif yang pernah ada dalam sejarah Polri. Pitutur Hoegeng bertutur sebagaimana dinarasikan oleh Kasespim Lemdiklat Polri, Irjen Pol Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana, M.Si, menjadi pengingat, pesan, dan bahkan satir untuk semua anggota Polri. Oleh karena itu, pitutur dan perbuatan Jenderal Hoegeng Imam Santoso perlu menjadi teladan bagi anggota Polri, bukan sekadar alat untuk kamuflase bersih, namun tidak jujur dan bermain di belakang.
Kombes Pol. Dr. Dedy Tabrani, S.I.K, M.Si.
Penulis adalah Peserta Penyesuaian Sespimti Polri Angkatan ke-33
© Copyright 2024, All Rights Reserved