Dunia pendidikan Indonesia kembali berduka dengan adanya dugaan bullying atau perundungan di lingkungan sekolah. Mulai dari kisah pelajar di Malang yang jarinya harus diamputasi, hingga siswa yang ditemukan meninggal di gorong gorong-gorong sekolah di Tasikmalaya.
"Semua itu menjadi gambaran ekstrim fatal dari intimidasi bullying fisik dan psikis yang dilakukan pelajar kepada teman-temannya," kata Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jasra Putra, Sabtu (8/2).
Jasra menuturkan, adanya berbagai peristiwa di lingkungan pendidikan tersebut merupakan fenomena, di mana anak-anak saat ini telah terbiasa menyaksikan cara kekerasan sebagai penyelesaian masalah.
"Artinya mereka tidak pernah diajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik, bahkan memandang kekerasan sebagai cara penyelesaian," ujarnya.
"Luka fisik bisa dicari obatnya, namun luka batin sangat tidak mudah dicari obatnya. Bahkan tidak kelihatan. Namun setelah peristiwa terjadi, kita mulai dapat mengukur apa yang terjadi sebelumnya kepada anak sehingga menjadi pelaku bullying," imbuh Jasra.
Menurutnya, semangat Undang Undamg Sistem Peradilan Pidana Anak dalam melihat anak-anak yang melakukan kejahatan dalam hukum bukan sebagai subjek hukum, melainkan pasti ada penyebab penyertanya.
Selain itu, pasal 9 Undang Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan anak dalam ayat (1a) menyatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.
© Copyright 2024, All Rights Reserved