SYUKUR Alhamdulillah, lega rasanya. Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34 2021 di Lampung, akan berlangsung pada 23-25 Desember tahun ini. Keputusan ini tertuang pada Surat Nomor 4284/A.I.01/12/2021 perihal Pemberitahuan Pelaksanaan Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama.
Surat yang ditandatangani oleh Rais Aam dan Katib Aam serta Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini ditujukan pada Pengurus Wilayah (PWNU), Pengurus Cabang (PCNU), dan Pengurus Cabang Istimewa (PCINU).
Surat tertanggal 02 Jumadil Awal 1443 H/07 Desember 2021 ini, berbunyi: "Sehubungan dengan kebijakan penarikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 terkait pencegahan dan penanggulangan Corona Virus Disease 2019 pada masa Nataru, maka dengan ini PBNU memberitahukan bahwa penyelenggaraan Muktamar ke-34 NU adalah sepenuhnya sebagaimana Keputusan Konferensi Besar NU tanggal 26 September 2021. Adapun waktu pelaksanaannya adalah pada tanggal 18-20 Jumadil Awal 1443 H/23-25 Desember 2021 M di Provinsi Lampung".
Surat Pemberitahuan ini mengakhiri polemik dari Syuriah yang ingin memajukan jadwal Muktamar NU dengan Tanfidziyah yang hendak mengundurnya.
Gandengan tangan KH Miftahul Akhyar dengan KH Said Aqil Siroj serta seluruh fungsionaris PBNU di hadapan PWNU se-Indonesia, memberi pesan bahwa gegeran perkara waktu Muktamar berakhir Gergeran.
Al-maghfurllah KH A Muchith Muzadi menyatakan, di NU lazimnya perebutan pucuk pimpinan NU berawal gegeran namun berakhir gergeran.
Istilah gegeran dan gergeran berasal dari Bahasa Jawa. Gegeran berarti keributan. Sementara gergeran bermakna tertawa bersama. Istilah ini digunakan oleh Kiai Muchith dalam mengambarkan konflik NU yang selalu berakhir penuh tawa. Ini ciri budaya NU yang menjadi fondasi rekonsiliasi setiap konflik terjadi.
Konflik KH Ali Maksum vs KH Idham Chalid pada Muktamar NU ke-27 pada 1984 di Situbondo, Konflik KH Abdurrahman Wahid vs KH Hasyim Muzadi pada Muktamar NU ke-31 2004 di Boyolali, konflik KH Hasyim Muzadi vs KH Said Aqil Siroj pada Muktamar NU ke-33 2015 di Jombang, dan lain sebagainya.
Nampaknya, fondasi budaya gegeran ke gergeran ini yang mengokohkan NU di setiap badai konflik mendera. Walau, Kiai Miftah dan Kiai Said dapat menyatukan pendapat tentang urusan waktu Muktamar tak otomatis ini akhir segalanya.
Malah gergeran ini menjadi gegeran baru. Dari sisi waktu yang tinggal beberapa hari ini, para calon Ketua Umum pasti kian intensif menggalang dukungan wilayah, cabang dan cabang istimewa. Di internal NU akan semakin riuh rendah sampai Muktamar NU menghasilkan kepemimpinan baru.
Dua nama caketum PBNU, Kiai Said maupun KH Yahya Cholil Staquf adalah Gusdurian yang nyantri kepada Gus Dur langsung. Keduanya kader intelektual Gus Dur yang membawa ide pluralisme dan humanisme.
Keduanya juga kontroversial dalam menyikapi masalah umat Islam dan non muslim. Mereka para tokoh Islam yang dikesankan assyidda' bainahum warruhama alal kuffar (tegas terhadap sesama umat Islam dan kasih sayang pada non muslim).
Sesungguhnya, Muktamar NU sekarang ini all Gusdurian final. Siapapun yang terpilih nanti tak akan membawa perubahan pada arah perjuangan NU yang kian mengglobal. Keberadaan perwakilan NU di 137 negara kian memantapkan gerakan transnasional NU dalam membawa Islam rahmatan lil alamin.
Mereka rata-rata mahasiswa Indonesia yang sedang studi di luar negeri atau warga negara Indonesia yang tinggal disana. Sejatinya, mereka duta NU untuk memperkenalkan ideologi dan tradisi agama yang mengakar di Tanah Air.
Kiai Said maupun Gus Yahya sama-sama punya jaringan internasional yang kuat. Cuma Kiai Said lebih dikenal di negara-negara Timur Tengah, dan Gus Yahya justru di negara-negara Barat.
Bila kedua tokoh ini dapat berduet pada masa khidmat kepengurusan NU 2021-2026, globalisasi gerakan NU dapat memanfaatkan jejaring intelektual dan sosial dua tokoh ini. Namun semua kembali pada pemilik suara Muktamar yang akan datang.
Pada Pasal 40 ayat (1) huruf c Anggaran Rumah Tangga (ART) NU disebut, "Ketua Umum dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam Muktamar, dengan terlebih dahulu menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapat persetujuan dari Rais ‘Aam terpilih".
Jelas dari aturan di atas, yang memilih Ketua Umum PBNU adalah Muktamirin secara langsung. Mereka adalah peserta Muktamar yang berasal dari 34 PWNU, 521 PCNU, dan 31 PCINU. Mereka tak kurang dari 586 yang merupakan pemilik suara sah sekaligus mewakili warga NU seluruh Indonesia mencapai 91,2 juta orang.
Hasil Survei LSI Denny JA pada 18-25 Februari 2019, menyebutkan bahwa warga NU mencapai 49,5 persen dari populasi muslim Indonesia yang total 87,8 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Hasil survei ini mengkonfirmasi bahwa NU benar-benar ormas terbesar bukanlah isapan jempol. Jumlah warga nahdliyyin diperkirakan tembus 108 juta orang.
Sepertinya, sesuatu yang tak bisa dihindari, caketum PBNU akan bertarung sengit memperebutkan suara muktamirin di atas. Gegeran menjadi sesuatu yang altruistik, apalagi pasca jadwal Muktamar NU disepakati bersama, kampanye hitam mulai terjadi di antara kandidat beserta para pendukungnya.
Klaim mengklaim juga menyempurnakan tontonan demokrasi ala kaum sarungan ini. Siapa akhirnya yang jadi nahkoda NU lima tahun mendatang? Biarlah sejarah nanti yang menjawabnya.
Moch Eksan
*Penulis adalah mantan PCNU Jember periode 2014-2019 dan Pendiri Eksan Institute
© Copyright 2024, All Rights Reserved