Tampaknya perlawanan terhadap pejuang antikorupsi bukan lagi datang dari para koruptor, tapi kini justru dikerahkan secara sistematis oleh sebagian alat-alat negara itu sendiri.
Demikian disampaikan Anggota DPD RI, Abdul Rahman Thaha dalam keterangannya pada Kantor Berita RMOLJabar, Rabu (12/5).
Menurutnya, perlawanan terjadi mulai dari revisi UU KPK, peralihan status pegawai KPK ke ASN, dan yang mutakhir adalah penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan (TWK). Terakhir, tes ini bermasalah dari sisi makna dan cakupan nasionalisme serta metode pengukurannya.
"Mereka yang tidak lulus TWK itu serta-merta terhakimi sebagai warga negara yang anasionalis dan seakan berpotensi melakukan pengkhianatan terhadap negara-bangsanya," katanya.
Ia kembali menilai kesesatan tes yang berujung pada tergusurnya sekian banyak figur yang justru selama ini dicatat publik sebagai simbol perjuangan Indonesia dalam memberantas korupsi.
Sementara Novel Baswedan dkk. menempuh jalur hukum, akan sangat baik jika masyarakat melakukan eksaminasi terhadap tes wawasan kebangsaan di KPK.
Tokoh yang dikenal berintegritas, semisal Abdullah Hehamua dan Busyro Muqoddas, bisa membuat semacam surat referensi yang berisikan testimoni akan jiwa nasionalisme dan profesionalisme para pegawai KPK yang tersingkir.
"Silakan kita bertanya, manakah yang lebih kita percayai, tes yang bermasalah atau tokoh-tokoh tadi," ujarnya.
"DPD dan DPR pun semestinya bisa melakukan hal serupa. Para pimpinan dan dewan pengawas KPK perlu diundang untuk memberikan penjelasan sejujur-jujurnya tentang tes tersebut. Sesuai semboyan KPK tempo doeloe: Berani jujur, hebat," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved