PADA 1942, pakar kebijakan publik David Levithan menerbitkan ulasan bertajuk ''The Neutrality of the Public Service'' di jurnal Public Administration Review. Ulasan ini penting untuk menjadi salah-satu rujukan utama saat membicarakan kenapa pejabat publik, termasuk kepala daerah, harus netral secara politik. Meskipun jabatan sebagai kepala daerah bisa diisi melalui proses politik, yakni Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Levithan menyebut, doktrin netralitas pegawai negeri atau 'civil servant' dikembangkan pertama-kali di Inggris. Awalnya, netralitas diberlakukan untuk menghindari pengaruh kuat partai politik ke dalam birokrasi. Namun selama satu dekade jelang Perang Dunia kedua, doktrin itu mulai dipersoalkan karena dianggap bersifat anakronis. Tak sesuai dengan fakta dunia kerja.
Para pelayan publik punya kecenderungan dipengaruhi partai politik. Dan fakta saat itu menunjukkan netralitas pejabat publik dan kelangsungan jabatannya, terlepas dari pemerintahan yang berkuasa, adalah benar dalam teori dan praktik ketika label partai saja yang dipertaruhkan dan bukan kebijakan atau filosofi mendasar. Namun, pengaruh partai penguasa sering tak bisa diremehkan karena begitu kuat.
Di Indonesia, pengaruh itu kian menjadi-jadi ketika proses pemilihan kepala daerah membuka peluang keikutsertaan partai politik sejak diberlakukan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Bakal calon kepala daerah harus diusung partai politik untuk didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), meskipun terbuka peluang bagi calon perseorangan tapi dengan persyaratan lebih ketat.
Dari proses semacam ini diharapkan partai politik bisa ikut memantau pasangan calon (paslon) yang telah diusungnya yang kemudian memenangkan pemilihan kepala daerah.
Selama satu dekade sejak diberlakukan UU 32 Tahun 2004, sorotan pada paslon terpilih dengan partai pengusungnya jarang menyentuh pada dimensi netralitas. Yang terjadi, kepala daerah atau wakil kepala daerah malah menjadi lebih nyaman untuk tetap menjadi kader atau masuk menjadi anggota partai politik, usai dilantik. Sebab, tidak ada aturan baku terhadap netralitas kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang memilih tetap independen dari partai politik, maka biasanya kebijakan atau program yang diterbitkan pemerintah daerah akan diganggu partai politik yang menguasai kursi di DPRD.
Alasan partai, mereka sedang menjalankan fungsi DPRD mengawasi kepala daerah atau wakil kepala daerah. Situasi ini kian menunjukkan bahwa bersikap netral pun sesungguhnya kepala daerah atau wakil kepala daerah acap menghadapi oposisi wakil partai politik di DPRD karena tidak ada perlindungan regulasi netralitas untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ketika Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara diberlakukan, ternyata UU ini hanya memberi perlindungan terhadap netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dari berbagai pengaruh. Bukan perlindungan untuk netralitas kepala daerah atau wakil kepala daerah. Sebab, menurut Pasal 122 UU 5/2014, kepala daerah dan wakil kepala daerah masuk ke dalam kategori pejabat negara.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 UU 5/2014, ASN masuk ke dalam kategori pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian. Dan mereka diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pantas saja, para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berharap bisa ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) November 2024 tak akan mau bersikap netral di sisa jabatannya pada tahun 2023 ini.
Sehingga netralitas seharusnya bukan cuma diimbau semata pada ASN, melainkan juga wajib diarahkan kepada kepala daerah, karena mereka adalah pejabat negara yang semestinya memegang etika bernegara lebih tinggi daripada sekadar bersikap partisan di akhir jabatan.
Penulis adalah peneliti di Surabaya
© Copyright 2024, All Rights Reserved