Pro dan kontra terjadi masyarakat setelah munculnya wacana kebijakan pemerintah untuk menetapkan tarif Kereta Rel Listik (KRL) Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Hal ini tentu menuai respon, salah satunya berasal dari Pakar Transportasi, Prof. Miming Miharja.
Menurut Prof Miming, secara konsep kebijakan tersebut dapat dianggap adil.
"Masyarakat yang dinilai mampu bisa membayar lebih, sementara yang kurang mampu bisa mendapatkan bantuan," kata Prof Miming seperti dikutip pada Kamis (5/9).
Selain itu, Prof Miming pun menilai kebijakan tersebut guna mengurangi beban subsidi pemerintah dalam sektor transportasi, terutama layanan KRL yang anggarannya terus meningkat setiap tahun.
"Dengan meningkatnya beban subsidi, maka pemerintah perlu mengambil langkah untuk mengendalikan pengeluaran ini," ujar Guru Besar dari Kelompok Keahlian (KK) Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota; Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (SAPPK ITB) itu.
Menurutnya, penggunaan NIK dalam sistem tarif KRL awalnya bisa bertujuan untuk mengklasifikasikan penumpang berdasarkan kemampuan ekonomi. Penumpang dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas akan dikenakan tarif lebih tinggi, sedangkan penumpang dengan ekonomi lebih rendah bakal mendapatkan subsidi lebih besar.
Sekadar informasi, wacana tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK mendapatkan tanggapan dari para warganet. Mayoritas netizen menyatakan tidak setuju dengan adanya wacana tersebut.
Masyarakat dibuat resah, sebab KRL merupakan salah satu angkutan massal yang dianggap murah, cepat, nyaman, dan mudah terintegrasi dengan moda transportasi lainnya. Dengan adanya wacana itu, dikhawatirkan tarif KRL pun akan menjadi naik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved