ENTAH berapa belas kali sudah saya ke Melbourne, Australia dalam 10 tahun terakhir. Tapi baru kali pertama terbang dengan Qantas ke Melbourne dan merasakan pengalaman ini.
Pesawat Qantas QF 40 Jakarta - Melbourne, boarding pukul 20.15. Sekitar 45 menit sebelum jadwal keberangkatan dari Terminal 3 Soekarno Hatta, Minggu (1/9) malam. Saya tiba di desk pelayanan boarding pukul 20.30 WIB. Sudah agak sepi. Tinggal beberapa orang saja, termasuk saya dan istri.
Saya sempat merasa jengah seperti penumpang terakhir yang sudah ditunggu. Penumpang lain biasanya sebal kalau pesawat tidak terbang tepat waktu atau pintu belum ditutup karena menunggu satu dua penumpang yang terlambat masuk pesawat.
Selesai scan barcode boarding pass, saya bergegas ke dalam, menuju garbarata --jembatan fasilitas bandara yang menghubungkan ruang tunggu penumpang ke pintu pesawat.
Baru beberapa langkah berjalan, ternyata stuck atau kami terjebak kemacetan. Antrean mengular panjang, sampai pintu pesawat pun tidak terlihat. Petugas di desk depan menyusul kami. Mereka mengarahkan lewat jalur kiri yang lengang.
Pintu pesawat sudah tampak mata, tinggal beberapa langkah lagi masuk, ketika beberapa petugas menyetop dan menyilahkan kami menghadap mereka. Di depan, kiri kanan, tampak petugas sibuk menggeledah koper kabin bawaan penumpang.
Apa yang terjadi?
"Pemeriksaan ulang, pak," sahut petugas ketika kami tiba di depannya.
"Kami mau periksa koper kabin bapak dan ibu," tambahnya.
Pertanyaan saya tidak terjawab. Saya benar-benar heran. Sungguh ini pengalaman pertama. Seperti disebut di awal, berulang kali ke Australia, belum pernah mengalami seperti ini.
Saya menoleh ke antrean di jalur kanan, lebih seru. Antrean masih mengular panjang karena dicegat petugas. Saya membatin, berapa lama pemeriksaan seperti ini dan akan memakan waktu berapa lama? Terutama, seberapa efektif pemeriksaan manual itu bisa menemukan yang dicari?
Jarum jam bergerak cepat. Sisa 15 menit lagi pesawat take off -- menurut jadwal di boarding pass.
"Lho? Apakah pemeriksaan dengan metal detector tadi tidak cukup?" tanya saya sambil membuka koper kabin. Padahal, pemeriksaan metal detector tadi bukan hanya barang bawaan, tetapi seluruh badan penumpang.
Tangan petugas terus saja menggeledah isi koper.
"Tidak cukup pak. Masih ada yang lolos," kata petugas. "Barang apa yang lolos," tanya saya lagi, penasaran. Petugas tidak menyahut, tangannya sibuk merogoh-rogoh isi koper kecil.
"Kenapa pakai manual begini? Kenapa tidak pakai metal detector sekalian seperti di bawah tadi," saya makin penasaran.
Pemeriksaan sebelum naik pesawat seperti itu lazim kita alami di bandara Changi, Singapore. Dan, beberapa bandara internasional lainnya. Tetapi pemeriksaan menggunakan metal detector.
"Lebih akurat cara manual," tegas petugas itu.
Apa yang sebenarnya mau digeledah petugas belum begitu jelas hingga mereka menyilakan kami memasuki pesawat. Apa pun, jelas pemeriksaan itu telah menimbulkan ketidaknyamanan dan ketegangan bagi penumpang. Malah menimbulkan kecemasan baru. Apakah ada ancaman terorisme? Entahlah.
Setelah duduk di kursi di dalam kabin pesawat, saya mencoba menghubungi Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi yang saya kenal baik, via japri di WA.
Saya ceritakan pengalaman tadi. Dalam waktu relatif singkat beliau merespons cepat. Beliau kirim emoji "Siyaap". Lalu, "Saya belum tahu. Nanti saya cek," tambahnya.
Pesawat Qantas take off tepat waktu. Masih melekat dalam benak gangguan pemeriksaan manual tadi. Pemeriksaannya terkesan tidak bersungguh-sungguh. Dalam bahasa medsos, seakan hanya mau "ngeprank".
Meja tempat pemeriksaan jauh dari standar, seperti meja yang diadakan secara darurat. Saya memprotes petugas yang hanya merogoh dengan tangan kosong. Tidak menggunakan peralatan teknologi.
Ketika ditanya, enteng saja menjawab, "Lebih akurat dengan cara manual begini". Masalahnya, kita yang tidak percaya cara merogoh-rogoh dengan tangan kosong begitu.
Beruntunglah di dalam penerbangan Jakarta - Melbourne, saya bisa tertidur pulas. Bahkan tidak sempat menikmati sarapan yang disediakan. Saya terbangun setengah jam sebelum landing. Begitu landing, saya nyalakan ponsel. Ada miscall dari Menteri Budi Karya Sumadi. Disusul WA. Isinya hasil pengecekannya kepada otoritas di bandara yang di-forward ke saya.
Intinya berdasarkan informasi dari Manager Qantas, pemeriksaan itu dilakukan terhadap seluruh hand carry penumpang tujuan Australia berdasarkan ketentuan penerbangan Pemerintah Australia (compliance authority rules). Pemeriksaan dilakukan di boarding gate oleh sekuriti maskapai.
Tujuannya untuk pencegahan LAGs (Liquid, aerosol, and gels) melebihi 100 ML dan benda-benda tajam yang terlewat di SCP. Mereka menegaskan pemeriksaan tersebut saat ini hanya tujuan Australia.
Tentu saja klarifikasi itu tidak sepenuhnya benar. Rasanya itu hanya berlaku bagi penumpang maskapai penerbangan Qantas. Sebelum ini penerbangan saya lebih sering dengan Garuda Indonesia. Tidak terjadi seperti penerbangan Qantas.
Garuda juga direct Jakarta - Melbourne, juga terutama tepat waktu. Tidak heran dalam urusan ketepatan waktu Garuda berkali-kali meraih penghargaan internasional di bidang penerbangan. Begitupun dengan kenyamanan di dalam kabin pesawat dan keramahtamahan awak kabinnya.
Belakangan setelah Garuda mengubah jam penerbangan dari semula jam 9 malam menjadi jam 2 dini hari yang amat tanggung, membuat saya mencari penerbangan dengan jam keberangkatan lebih awal.
Terakhir saya menumpang Singapore Airlines, bulan Mei lalu. Juga tidak mengalami pemeriksaan serupa Qantas saat ini.
Di tengah persaingan ketat maskapai penerbangan dan peningkatan fasilitas kenyamanan di berbagai bandara internasional, adakah cara Qantas itu masih bisa ditolerir penumpang?
"Ya pak itu permintaan Australia. Kalau tidak, pengalaman saya kena denda yang besar," kata Budi Karya Sumadi ketika saya sudah tiba di Melbourne, Senin (2/9/24) pagi.
Pernyataan itu merespons ucapan terima kasih saya atas perhatian besar Menteri Perhubungan menanggapi keluhan kami.
Penulis adalah Wartawan Senior
© Copyright 2024, All Rights Reserved