Masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh pemerintah soal pendidikan. Salah satunya pendidikan bagi masyarakat berkebutuhan khusus atau disabilitas.
Pemerintah dinilai belum memberikan perhatian lebih terhadap anak penyandang disabilitas dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Dari mulai guru, sarana pra sarana, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa mengatakan, bahwa problem yang dihadapi oleh Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah soal ketersediaan guru. Para guru harus mendapatkan upah atau gaji tidak sesuai dengan pekerjaan mereka mengurus siswa yang memiliki kebutuhan khusus.
"Kalau guru SLB gajinya di bawah honorer. Padahal ada beberapa kondisi anak penyandang disabilitas yang harusnya didampingi betul, harus ada yang nemenin atau asisten. Kalau kemudian guru yang secara sukarelawan ini juga tidak diperhatikan akan jadi fatal akibatnya," kata Ledia, di Bandung, Selasa (11/2).
Selanjutnya, Ledia yang merupakan Sekretaris Fraksi PKS ini menjelaskan, kebanyakan SLB ini didominasi oleh swasta. Sehingga ketika berbicara bantuan atau anggaran ini sangat terbatas.
"Maka perlunya pembangunan-pembangunan SLB negeri, sehingga akses anggaran pun bisa didapat," jelasnya.
Di samping itu, sarana pra sarana yang dipunyai SLB sangatlah terbatas. Sehingga tidak bisa menunjang layanan pendidikan bagi kaum disabilitas tersebut.
"Jadi PR kita masih banyak terkait dengan SLB, yaitu ketersediaan guru, memanusiakan yang tadi disebut sukarelawan, dan sarana pra sarana," tegasnya.
Padahal lanjut Ledia, Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas, disebutkan bahwa setiap anak itu berhak mendapatkan bantuan beasiswa. Bahkan, Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para disabilitas sudah dilaunching di tahun kemarin. Akan tetapi dalam pelaksanannya masih belum optimal.
"Ini menjadi PR besar karena kita sudah punya undang-undang tapi belum optimal," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved