BEBERAPA waktu lalu, belum lama ini. Di berbagai platform media sosial sempat ramai tanda pagar atau yang akrab disingkat tagar #PercumaLaporPolisi dan #PercumaAdaPolisi. Tagar-tagar ini muncul sebagai pernyataan sikap atas kegeraman masyarakat terhadap kinerja polisi yang dianggap kurang serius dalam penanganan sejumlah kasus yang dilaporkan.
Tagar #PercumaLaporPolisi pertama kali muncul di media sosial setelah kasus pemerkosaan terhadap tiga anak yang diduga dilakukan oleh ayah kandung di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menjadi viral. Sejak saat itu, #PercumaLaporPolisi sering menjadi buah bibir di media sosial setiap kali terjadi kasus ketidakadilan atau pelanggaran aturan oleh pihak kepolisian.
Sementara itu, tagar #PercumaAdaPolisi mulai digaungkan setelah munculnya kasus di Polsek Pulogadung, Jakarta Timur, terhadap tindakan tidak profesional seorang anggota kepolisian menolak laporan dari seorang warga yang menjadi korban pencurian, pada hari Selasa (14/12/2021).
Merespon kegelisahan masyarakat terhadap profesionalitas Polri. Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak tutup mata. Saat memimpin upacara serah terima jabatan (sertijab) sejumlah Kapolda di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta, pada Rabu (29/12/2021), Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengingatkan jajarannya untuk mempertahankan dan menunjukkan sikap Polri yang terbuka terhadap kritikan.
Seperti diketahui bersama, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) memiliki tugas yang sangat penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Dalam menjalankan tugasnya, POLRI senantiasa dituntut dapat mengedepankan profesionalitas dan transparansi, termasuk ketika menerima kritik dan masukan dari masyarakat.
Dalam sebuah negara demokratis, tidak dapat dipungkiri bahwa kritik terhadap kebijakan dan kinerja Polri maupun instansi pemerintahan lainnya adalah hal yang wajar. Dalam hal ini, Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab atas keamanan publik harus dapat menerima kritik secara konstruktif sebagai upaya evaluasi diri dan perbaikan terus-menerus.
Sikap terbuka terhadap kritik dapat menjadi salah satu penanda kuat dari komitmen POLRI untuk terus meningkatkan pelayanan dan kinerjanya. Dengan menerima kritik, POLRI juga menunjukkan bahwa mereka adalah institusi yang responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Selain itu, komitmen POLRI ketika tidak anti kritik juga mencirikan semangat untuk terus memperbaiki diri demi mewujudkan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan adanya mekanisme keterbukaan terhadap kritik dan saran, dapat membantu POLRI lebih mudah mengidentifikasi masalah-masalah yang perlu diperbaiki dan melakukan langkah perbaikan secara tepat.
Oleh karena itu, komitmen POLRI yang tidak anti kritik merupakan bagian dari upaya positif dalam memelihara Kamtibmas dan memperkuat hubungan antara institusi kepolisian dan masyarakat. Melalui kerjasama dan dialog dan penerimaan yang baik atas masukan dan kritikan dari masyarakat diharapkan keamanan dan ketertiban masyarakat dapat semakin terjaga dengan baik.
Keseriusan Polri untuk ramah dan terbuka terhadap kritikan yang disampaikan masyrakat, kembali disampaikan Kapolri pada upacara peringatan HUT Bhayangkara ke-78. Dalam pidatonya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali mengingatkan agar Polri tidak anti kritik.
Namun, pernyataan Kapolri Listyo tidak serta merta mendapat sambutan baik di hati masyarakat. Salah satunya datang dari Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto.
Bambang menilai pernyataan yang disampaikan Jenderal Listyo dalam pidatonya itu tidak lebih hanyalah sebatas retorika. Menurutnya belum ada fakta-fakta dan implementasi dari komitmen yang disampaikan. Pernyataan Bambang ini sepertinya memang sulit disangkal. Kenyataannya seringkali masih terdengar kabar seseorang harus berurusan dengan kepolisian setelah sebelumnya melayangkan kritik terhadap kinerja polisi.
Bambang Rukminto juga mengkritisi pernyataan Listyo pada peringatan HUT Bhayangkara ke-77 pada tahun 2023 yang menyebutkan 'Tak ada gading yang tak retak' terkait kinerja kepolisian. Menurut Bambang, frasa ini seakan jadi perumpamaan untuk meminta permakluman kepada masyarakat pada tindakan mengabaikan prosedur oleh personel Polri.
Kekecawan masyrakat terhadap kinerja Polri yang jauh dari harapan masyrakat kembali memancing munculnya tagar-tagar baru yang tak bukan adalah sebentuk ungkapan kekecewaan yang mendalam, di antara tagar-tagar baru yang mulai menjadi trending topic antara lain, #NoViralNoJustice dan #SatuHariSatuOknum.
Tagar-tagar tersebut tak dapat ditampik adalah ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap lambannya Kepolisian Negara RI mengusut laporan masyarakat. Seringkali hal ini dialami masyarakat kecil ketika berperkara dengan pihak atau orang yang disinyalir berduit.
Sedangkan tagar no viral no justice muncul lantaran seringkali Polri bergegas menindaklanjuti laporan masyarakat setelah perkara yang dihadapi tersebut viral di ruang-ruang media sosial. Masyarakat mulai memiliki keyakinan baru, kasus-kasus yang viral cenderung lebih cepat tuntas dibandingkan kasus atau laporan yang tak menyebar luas di media massa ataupun media sosial.
Terbukti pada kasus pembunuhan yang menimpa seorang remaja putri bernama Vina yang terjadi lebih dari delapan tahun silam, waktu yang sangat lama peristiwa keji itu terjadi, tapi polisi seakan tak berdaya mengungkap motif dan menangkap aktor utama terlibat dalam insiden pembunuhan tersebut.
Kasus pembunuhan Vina nyaris terlupakan dari ingatan khalayak. Namun, ternyata perkara pembunuhan sadis itu kembali ramai menjadi perbincangan hangat di masyarakat setelah tindakan tak beprikemanusiaan itu di filmkan. Meskipun begitu kepolisian masih belum tuntas menangani kasus itu.
Penting untuk dicatat bahwa kritik terhadap institusi Polri dapat mencerminkan aspirasi masyarakat untuk transparansi, akuntabilitas, dan peningkatan kinerja kepolisian. Di Indonesia sejumlah pakar dan pengamat juga memberikan pandangan yang berharga terkait isu-isu yang melibatkan kepolisian dan pentingnya polisi terbuka terhadap kritikan masyarakat.
Prof. Budi Suharjo, seorang pakar hukum di Indonesia, memberikan pandangannya mengenai pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum, termasuk peran Polri. Prof Budi berpendapat kritikan masyarakat dapat menjadi pendorong bagi lembaga penegak hukum untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kepercayaan publik.
Pendapat senada dari seorang pengamat kepolisian di Indonesia, Dr Adrianus Meliala, ia menyampaikan perspektifnya tentang pentingnya Polri dalam menjaga keterbukaan terhadap kritikan masyarakat. Menurutnya masukan dan kritik dari masyarakat dapat meningkatkan hubungan antara kepolisian dan masyarakat.
Polri dalam upaya menunjukkan keseriusannya bahwa tidak alergi terhadap kritikan. Wajib bagi Polri untuk tetap terbuka terhadap masukan dan kritik sebagai upaya perbaikan yang berkelanjutan meskipun terdapat tantangan dalam implementasi komitmen tersebut.
*Wartawan Kantor Berita RMOLJatim
© Copyright 2024, All Rights Reserved