Penyandang disabilitas sering kali terhambat status kedisabilitasannya ketika memasuki dunia kerja terutama di sektor formal. Apalagi, pekerja di sektor formal membutuhkan ijazah sebagai salah satu persyaratannya.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 sampai 2020, sebanyak 30 persen penyandang disabilitas merupakan lulusan SD, 11 persen lulusan SMP, 14 persen lulusan SMA, dan kurang dari 5 persen merupakan lulusan perguruan tinggi, artinya tertinggal.
Didasari hal tersebut, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND), Dante Rigmalia mengungkapkan, pihaknya mendukung pelatihan hingga advokasi dengan berbagai pihak yang dilakukan oleh House of Hope (HOH) untuk mewujudkan kemandirian bagi penyandang disabilitas.
Sebab, UU Nomor 8 Tahun 2016 telah mengamanatkan bahwa penyandang disabilitas itu memiliki hak yang sama dengan non disabilitas termasuk dalam bidang pekerjaan.
"Sangat mengapresiasi apa yang sudah dilakukan Irene Ridjab dengan House of Hope. Karena bidang pekerjaan, masih banyak disabilitas yang tidak memiliki ijazah formal yang menyebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan terutama di sektor formal," ungkap Dante di Kota Bandung pada Minggu (2/4).
Menurutnya, keberadaan HOH ini bisa memenuhi apa diamanatkan UU Nomor 8 Tahun 2016 ayat 2 bahwa perusahaan swasta mempekerjakan paling sedikit satu persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai.
"Jadi HOH sebagai jembatan penyandang disabilitas yang memiliki atau tidak memiliki ijazah melalui pelatihan, pengembangan, diarahkan, disalurkan, dan mengadvokasi pihak swasta maupun lembaga lain untuk menjalin bekerja sama," tuturnya.
Ia berharap penyandang disabilitas yang ada benar-benar berdaya, bersaing, dan bisa mandiri. Apalagi, HOH menerapkan right based artinya seseorang diberikan pekerjaan bukan karena kasihan tapi berdasarkan kepemilikan hak yang sama.
Sementara itu, Founder House of Hope, Irene Ridjab mengaku lahirnya HOH ini dari sebuah kerinduan dirinya untuk menjembatani anak berkebutuhan khusus (ABK) agar mereka bisa terjun ke masyarakat secara mandiri.
"Sehingga, kita bersama-sama memberikan satu solusi kepada keluarga maupun kepada masyarakat," ucap Irene.
Saat ini, HOH fokus dalan kegiatan menggambar atau art therapy dan creativity empowering atau printing. Hasil karyanya pun akan diaplikasikan ke produk dan nantinya ditawarkan ke corporate, instansi, hingga marketplace.
"Hasilnya dari penjualan itu, tentu anak-anak yang menggambar mendapatkan kontribusi kembali, karena kita fokus dalam pemberdayaan," imbuhnya.
Selain itu, aktivitas yang menggerakkan motorik mereka khususnya pekerjaan tangan. Kemudian dilatih kefokusan, kemandirian, kedisiplinan, dan juga pekerjaan dasar yang biasa dilakukan oleh semua orang tapi untuk ABK sangat bermanfaat.
"Dan ini kita sudah memberikan mereka lapangan kerja. Jadi kita hitung berdasarkan output untuk memotivasi mereka agar lebih produktif," lanjut Irene.
Namun, para periode tertentu para penyandang disabilitas ini tidak akan terus berada di HOH. Sebab, HOH ini hanya semacam traning center untuk menyiapkan mental serta mindset agar mereka tidak menjadi korban bullying di masyarakat.
"Ketika mereka sudah memasuki periode tertentu, kerinduan saya adalah mereka disalurkan ke masyarakat. Jadi endingnya di masyarakat bukan di House of Hope, tapi di masyarakat," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved