DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB) siap menampung aspirasi warga korban eksekusi lahan proyek nasional Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Terlebih, proyek yang dijalankan pengembang PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) serta PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), dinilai warga cacat hukum.
Ketua DPRD KBB, Rismanto mengatakan, pihaknya beberapa kali menemui masyarakat yang terdampak pembebasan lahan proyek KCJB. Akan tetapi, ketika eksekusi lahan dilangsungkan, DPRD KBB tidak pernah dilibatkan.
"DPRD turun berkali-kali ke berbagai titik disitu, hanya memang ketika eksekusi kemarin itu kan sepertinya menggunakan atau memerintahkan aparatur khusus, ya, dari kepolisian dan lain-lain," ujar Rismanto usai Rapat Paripurna DPRD KBB di Hotel Novena Lembang, Selasa (25/2).
Kendati begitu, pihaknya siap menampung masukan maupun keluhan masyarakat terdampak proyek KCJB. Bahkan, pihaknya siap mengawal aspirasi masyarakat yang selama ini merasa dirugikan dengan adanya eksekusi lahan tersebut untuk memperoleh keadilan.
"Jadi saya rasa begini, kalau memang ada ketidakpuasan dan sejenisnya, untuk proses ganti rugi, tentu ada prosedur untuk melakukan komplen. DPRD siap menerima komplennya lalu kita mencari jalan keluar terbaik," ujarnya.
Sebelumnya, seorang warga Kampung Hegarmanah, RT 02/04, Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Sudana menyebut, lahan miliknya yang menjadi objek penggusuran tak tercantum dalam surat penetapan konsinyasi Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas IA nomor: 11/Pdt.KONS/2018/PN.Bib sebagai dasar eksekusi lahan. Sehingga, dia menilai, proses eksekusi tersebut cacat hukum dan melanggar ketentuan yang berlaku.
"Yang tercantum di surat penetapan konsinyasi itu kan Desa Rende, Desa Mandalasari, Desa Tagogapu, Desa Kertamulya, Desa Bojongkoneng, dan Desa Cilame dan Desa Gadobangkong, sama ini desa Mandalasari nah, untuk Desa Sukatani tidak ditujukan untuk dieksekusi. Jadi penggusuran ini tidak sah," tegas Dana saat ditemui, Jumat (21/2) lalu.
Senada, warga Kampung Neglajaya, RT 02/12, Desa Tagogapu, Kecamatan Padalarang, Sumarna (50) menilai, eksekusi lahan dan bangunan rumahnya cacat hukum karena tidak dilengkapi dasar yang kuat serta diputuskan secara sepihak. Bahkan, dirinya juga belum menerima apapun dari adanya eksekusi lahan tempat tinggalnya.
"Ini (eksekusi lahan) cacat hukum, apa dasarnya? Saya belum pernah berperkara di pengadilan kok tiba-tiba ada eksekusi. Saya belum menerima uang, surat-surat ada di saya, buktinya ada," ucapnya saat ditemui, Senin (24/2).
© Copyright 2024, All Rights Reserved