PEMILU 2024 sudah selesai. Siapa presiden dan anggota DPR-nya, sudah tercatat nama-namanya.
Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil pemilu buat PPP, sudah bisa dibaca. Sulit bagi PPP dapat syafa'at. Sebab, PPP bukan partai yang mengusung calon dari penguasa.
Setelah keputusan MK terkait sengketa pilpres dibacakan, semua parpol merapat. Menyisakan PDIP dan PKS. Secara personal, anggota kedua partai ini ada komunikasi dengan pihak pemenang. Tapi tidak atas nama partai. Hasilnya seperti apa? Politik itu dinamis. Jawaban klise.
Melihat dinamika politik pasca pemilu, setidaknya ada dua catatan. Pertama, kalau pada akhirnya partai-partai pengusung paslon kalah itu bergabung kepada pihak yang menang, buat apa ada kontestasi dalam pilpres?
Bukankah kontestasi itu sebuah penegasan bahwa masing-masing kontestan itu berbeda. Mereka berbeda dalam banyak hal, termasuk track record, karakter, dan gagasan soal bagaimana mengelola negara.
Para pendukung memilih berdasarkan perbedaan-perbedaan itu. Dari gagasan ini, parpol juga dibedakan antara yang pro perubahan dan pro kelanjutan. Namun, ketika pilpres selesai, yang kalah gabung ke yang menang. Dimana logikanya? Alasannya, kerja bersama dan gotong royong untuk bangsa. Dan ini dimaknai sebagai sikap kenegarawanan. Yang bener aja. Bukan partai kalau tidak lihai berkamuflase.
Kedua, pihak pemenang menginginkan "tidak ada oposisi". Alasannya, supaya bisa bekerja bersama-sama untuk bangsa. Emang kalau oposisi tidak bisa bekerja untuk bangsa?
Hukum ketatanegaraan kita memang tidak mengenal oposisi. Tapi secara fungsional, oposisi telah ada dan dibutuhkan. Trias-politika yang dianut dalam ketatanegaraan kita memposisikan DPR sebagai lembaga kontrol pemerintah. Kalau semua parpol bergabung dengan koalisi Prabowo-Gibran, maka siapa yang akan melakukan kontrol? Sementara rakyat tidak punya hak imunitas. Tidak kebal dari UU ITE ketika melakukan kontrol.
Fungsi legislation dan budgeting DPR selama ini juga lebih banyak diambil alih oleh pemerintah. DPR seringkali hanya pekerja formalitas yang dijadikan sebagai pihak yang pegang stempel. UU Omnibus Law Ketenagakerjaan, Minerba, dan lainnya adalah sodoran pemerintah yang disahkan oleh DPR.
Kenapa ini terjadi? Karena para ketua umum partai yang menjadi bosnya para anggota DPR itu telah bergabung dengan koalisi pemerintah. Cukup melalui ketua umum partai, pemerintah bisa kendalikan seluruh anggota DPR.
Di sinilah pentingnya peran oposisi. Partai-partai yang tidak ikut bergabung di koalisi bisa memberi kebebasan kepada para kadernya di DPR untuk tetap kritis dan melakukan kontrol terhadap pemerintah. Dari sini demokrasi akan hidup. Ekspektasi rakyat juga relatif bisa disuarakan.
Pemerintah bukan malaikat. Ada nafsu, bahkan seringkali gede nafsunya. Bukan saja nabrak aturan, tapi juga suka mengubah aturan sesuai kebutuhannya. Siapa yang bisa kontrol pemerintah? Ya DPR. Kalau partaimya masuk koalisi, bagaimana para anggota DPR bisa mengontrol pemerintah? Jatah menteri di kabinet bisa hilang. Lihat nasib Nasdem.
Sepertinya, Nasdem kapok. Babak belur setelah dukung Anies-Muhaimin di Pilpres 2024. Makanya, Nasdem sekarang terlihat genit dan rajin bermanuver. Targetnya? Agar tidak bernasib sial lagi.
Kenapa partai-partai bernafsu merapat dan berupaya masuk koalisi pemerintah? Karena pertama, mereka butuh logistik. Biaya operasional partai amat sangat besar. Partai tidak punya sumber pendanaan kecuali dari iuran anggotanya. Itupun masih jauh dari cukup. Maka, sumber pendanaan yang paling potensial adalah dari proyek negara. Gede duitnya. Soal cara, yang penting tidak diendus oleh KPK, kepolisian atau kejaksaan. Kalau terendus, ya minta perlindungan dari presiden. Coba kalau mereka gak patuh sama presiden, ya habis.
Kedua, mereka ingin aman. Tidak ada yang lebih aman kecuali bergabung dengan koalisi pemerintahan. Sangat berisiko jika berada dalam posisi berseberangan. Sedikit salah jadi petaka. Mana ada manusia dan partai yang tidak punya salah?
Ke depan, perlu dipikirkan pertama, logistik parpol. Idealnya, negara memberi dana yang cukup buat operasional parpol. Misalnya per-suara diberikan kompensasi 100 ribu. Kalau setiap parpol masing-masing minimal mendapat dana operasional Rp2 triliun per tahun, maka parpol tidak perlu harus masuk koalisi. Gak perlu ngamen ke pemerintah. Gak perlu kucing-kucingan dengan KPK.
Kedua, oposisi perlu mendapat legalitasnya dengan semua hak dan jaminan hukum yang ditetapkan dalam perundang-undangan. Sehingga, oposisi tidak dipandang sebelah mata. Tapi punya fungsi, khususnya fungsi kontrol, agar kelola negara ini sesuai dengan aturan dan harapan rakyat. Ini sekaligus akan dapat mencegah potensi otoritarianisme pemerintah. Dalam hal ini adalah presiden.
Tony Rosyid
*Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
© Copyright 2024, All Rights Reserved