Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia memasuki era baru dengan hadirnya teknologi digital. Namun, perkembangan ini membawa dua sisi mata pisau: di satu sisi, teknologi digital dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau pelaksanaan Pemilu; di sisi lain, teknologi digital juga dapat memicu apatisme, terutama di kalangan generasi muda.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mengamati fenomena ini dengan membandingkan pelaksanaan Pemilu 2024 di Indonesia dengan dua negara tetangga, Filipina dan Thailand.
"Di Filipina, disrupsi digital justru membuat kalangan mudanya apatis terhadap Pemilu," ungkap Kaka dalam sebuah diskusi evaluasi Pemilu 2024.
Hal sebaliknya terjadi di Thailand, di mana teknologi digital justru mendorong partisipasi aktif kaum muda dalam Pemilu.
"Di Indonesia, situasinya berbeda. Disrupsi digital tampaknya membuat pemuda kita kurang aktif," jelas Kaka.
Kaka prihatin dengan rendahnya partisipasi politik di kalangan pemilih muda Indonesia, yang jumlahnya mencapai lebih dari 50% dari total daftar pemilih tetap (DPT). Ia melihat kecenderungan generasi muda ini untuk lebih menghabiskan waktu dengan konten hiburan daripada mengikuti edukasi politik.
"Sebagai pegiat Pemilu, kami sepakat bahwa ini merupakan tantangan jangka panjang," ujar Kaka. "Kita tidak boleh pesimis, tapi harus ada usaha luar biasa untuk memperbaikinya."
Kaka memprediksikan bahwa di Pemilu 2029, jumlah pemilih muda yang apatis dapat meningkat menjadi 60% atau lebih. "Ini adalah angka yang besar dan dapat membawa dampak signifikan, baik positif maupun negatif," tambahnya.
Dengan demikian, disrupsi digital dalam Pemilu 2024 menjadi sebuah dilema yang perlu disikapi dengan bijak. Bagaimana memaksimalkan potensi teknologi digital untuk meningkatkan partisipasi politik, terutama di kalangan generasi muda, menjadi kunci untuk mewujudkan Pemilu yang berkualitas dan berintegritas di masa depan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved